Para pembicara dalam webinar.

FKP dengan tuan rumah Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dengan pembicara Agustina Erni (Kementerian Pemberdayaan Peremuan dan Perlindungan Anak), Diahhadi Setyonaluri (Lembaga Demografi Universitas Indonesia), Daniel Halim (World Bank) dan Nizam Fadila (Indonesia Business Coalition for Women Empowerment/IBCWE). Kamis 30 Juli 2020.

Poin utama:

  • Partisipasi angkatan kerja perempuan Indonesia sebesar 52% sangat rendah jika dibandingkan dengan partisipasi angkatan kerja laki-laki sebesar 83%. Kondisi ini disebabkan oleh antara lain keluarnya perempuan dari angkatan kerja yang erat dipengaruhi oleh pernikahan dan lahirnya anak pertama. Selain itu, terdapat masalah tingkat upah yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan (bahkan ketika melakukan pekerjaan yang sama) dan tantangan dari norma sosial.

 

  • Untuk meningkatkan partisipasi perempuan di angkatan kerja, diperlukan perubahan norma peran perempuan serta tersedianya tempat penitipan anak ketika ibu sedang bekerja. Ketersediaan TK, misalnya, mampu meningkatkan partisipasi perempuan dalam bekerja walaupun tidak memperbaiki kualitas pekerjaan mereka. Dengan demikian, penitipan saja tidak cukup dan perlu kebijakan lain (termasuk dari pihak pemberi kerja) untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam bekerja.

 

  1. Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) menunjukkan bahwa sumberdaya manusia Indonesia terdiri dari jumlah laki-laki dan perempuan yang berimbang. Namun, partisipasi angkatan kerja perempuan Indonesia hanya mencapai 52% jika dibandingkan dengan partisipasi angkatan kerja laki-laki sebesar 83%. Ketika bekerja, perempuan cenderung bekerja di sektor informal (62%) dibandingkan laki-laki (54%), dan tingkat upahnya secara rata-rata lebih rendah (rata-rata 25% lebih rendah), termasuk ketika melakukan pekerjaan yang sama walaupun hal ini sudah dilarang dalam regulasi pasar tenaga kerja. Pemerintah Indonesia juga merupakan pihak yang meratifikasi konvensi international terkait pengupahan dan diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan.
  2. Dari sisi pendidikan, pada penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas angka melek huruf perempuan dan tingkat pendidikan formalnya memang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Tapi kesenjangan ini semakin dapat ditutup di mana saat ini proporsi perempuan yang tamat SD dan SMP seimbang dengan laki-laki. Namun pada tingkat pendidikan lebih tinggi masih ada kesenjangan yang cukup besar di mana 38% laki-laki berpendidikan SMA ke atas dibandingkan 33% perempuan.
  3. Bila sepenuhnya tidak dapat dijelaskan dengan pendidikan, apa alasan partisipasi perempuan dalam bekerja rendah? Salah satu sebab keluarnya perempuan dari pekerjaan adalah untuk berkeluarga; 65% perempuan yang saat ini di rumah merawat keluarga sebelumnya aktif bekerja. Berbagai studi yang ada menunjukkan bahwa transisi ke status menikah dan memiliki anak merupakan faktor yang mempengaruhi perempuan untuk berhenti bekerja. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh IBCWE terhadap perempuan bekerja, perempuan menanggung beban domestik yang lebih besar dibandingkan laki-laki, 45% responden perempuan mengatakan mereka juga yang mengurus anak, 23% mengemban tanggung jawab untuk mengurus orang tua, serta 18% mengemban tanggung jawab untuk mengurus anggota keluarga yang sakit atau mempunyai kebutuhan spesial.
  4. Walau kemungkinan untuk kembali bekerja sangat sedikit, studi yang dilakukan oleh Diahhadi Setyonaluri menemukan bahwa ada probabilitas tinggi untuk perempuan dengan anak berusia di bawah 5 tahun untuk kembali bekerja, dan bagi yang kembali bekerja, untuk pindah ke sektor informal. Namun demikian, ada konflik yang dihadapi oleh perempuan terkait bekerja versus mengurus rumah tangga.
  5. Adanya taman kanak-kanak (TK) merupakan salah satu faktor yang dilihat dapat mempengaruhi partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja. Bank Dunia malakukan studi tentang hal ini dengan membandingkan keberadaan TK dan tingkat partisipasi perempuan dalam angkatan kerja, dan menemukan bahwa adanya TK dapat meningkatkan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja. Meski demikian, Daniel Halim menjelaskan hasil studi menunjukkan bahwa meningkatnya partisipasi perempuan tersebut adalah dalam bentuk pekerja dalam usaha keluarga yang tidak dibayar dan bukanlah sebagai wirausahawan, PNS, atau pegawai swasta. Hasil studi juga menunjukkan bahwa ketersediaan TK tidak “memperbaiki” jenis pekerjaan ibu (misalnya dari sektor primer menjadi tersier), dan tidak meningkatkan pendapatan atau jam kerja bagi perempuan. Jadi mungkin ketersediaan TK saja tidak bisa diandalkan untuk mendorong partisipasi kerja perempuan. Apakah diperlukan upaya lebih dari tempat kerja? Terkait hal ini, IBCWE akan melakukan penelitian tentang pilihan yang ada bagi perusahaan untuk memberikan layanan/dukungan bagi karyawan yang telah berkeluarga.
  6. Pemerintah menargetkan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja menjadi 55% dalam empat tahun mendatang. Namun hal ini tidak akan tercapai bila tidak ada pergeseran norma terkait beban domestik terhadap orangtua yang bekerja (terutama perempuan) serta tidak ada dukungan fasilitas seperti jam kerja yang fleksibel, tempat penitipan anak, emergency care, childcare subsidies, dan lain-lain.
  7. Dalam sesi tanya jawab, dijelaskan lebih lanjut bahwa perempuan di usia menikah dan memiliki anak (motherhood penalty) dan bekerja di sektor formal dengan rigid working arrangements lebih rentan untuk berhenti bekerja. Kemudian ditegaskan kembali bahwa penyuaraan isu untuk mendobrak norma gender harus dilakukan sejak dini, mulai dari pandangan komunitas sampai pandangan agama terhadap ibu yang bekerja. Hal ini bisa dilakukan oleh pemerintah dan sektor swasta dengan menjunjung kesetaraan gender di tempat kerja, memberikan flexible working arrangements kepada orang tua, dan pemberian cuti kepada orang tua yang baru memiliki anak.
Download slides