19th Thee Kian Wie Lecture Series dengan tuan rumah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Rabu 30 April 2025 dengan Pembicara Julian Witjaksono (BRIN), Rizky Muhammad Kahfie (Indonesia CSS Center), M Alhaqurahman Isa (Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM), dan Awalina Satya (Pusat Limnologi dan Sumberdaya Air)
Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menurunkan emisi sambil mempertahankan pertumbuhan ekonomi, dengan pertanyaan mendasar tentang kemampuan mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Teknologi Carbon Capture, Storage, and Utilization (CCSU) dianggap sebagai solusi potensial, namun tantangannya terletak pada biaya tinggi dan kesiapan regulasi yang belum memadai. Dalam presentasinya, Julian Wicaksono (BRIN) menjelaskan bahwa meskipun CCSU penting untuk sektor-sektor yang sulit di dekarbonisasi, seperti industri berat dan pembangkit listrik berbasis fosil, penerapan teknologi ini masih terhambat oleh tingginya biaya modal (CAPEX) dan operasional (OPEX). Ia menekankan pentingnya skema yang berkelanjutan seperti penerapan model “hub and spoke“, yang memungkinkan berbagi fasilitas CCSU antar pengguna untuk mengurangi biaya dan meningkatkan efisiensi.
Rizky Muhammad Kahfie (CCS Center Indonesia) menambahkan bahwa meski biaya investasi untuk infrastruktur CCS diperkirakan mencapai USD 8 miliar untuk kapasitas 25,5 MtCO₂ pada 2030, Indonesia memiliki potensi besar dengan kapasitas penyimpanan CO₂ mencapai 600 gigaton. Rizky menjelaskan bahwa CCS tidak hanya untuk mitigasi emisi, tetapi juga sebagai pendorong ekonomi, dengan proyeksi meningkatkan PDB hingga dan menciptakan lapangan kerja baru. Ia menegaskan bahwa kesuksesan implementasi CCS di Indonesia sangat bergantung pada sinergi kebijakan pemerintah, investasi swasta, dan pengembangan teknologi untuk mencapai target net-zero emissions pada 2060.
Melanjutkan diskusi tentang transisi energi, M Alhaqurahman Isa (Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM) menyoroti pentingnya pengembangan hidrogen rendah karbon sebagai bagian dari strategi dekarbonisasi Indonesia. Seiring dengan teknologi CCS, hidrogen diharapkan dapat menjadi alternatif utama untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan mendukung transisi menuju energi bersih. Andriah menjelaskan bahwa meskipun tantangan dalam investasi dan infrastruktur masih besar, Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan ekonomi hidrogen yang berkelanjutan. Dengan diluncurkannya Strategi Hidrogen Nasional (SHN), pemerintah Indonesia berfokus pada pembuatan regulasi yang mendukung, pengembangan infrastruktur, serta integrasi pasar domestik dan global. Ia juga menekankan pentingnya kebijakan yang jelas dan insentif fiskal untuk menarik investasi, agar hidrogen dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus mendukung pencapaian target net-zero emissions pada 2060.
Melengkapi pembahasan tentang teknologi energi bersih, Awalina Satya (Pusat Limnologi dan Sumberdaya Air) memperkenalkan pendekatan alternatif dalam mitigasi karbon melalui mikroalga, yang dapat digunakan dalam teknologi Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS). Ia menjelaskan bahwa mikroalga, terutama cyanobacteria, memiliki kemampuan luar biasa dalam menyerap CO₂ melalui fotosintesis, bahkan jauh melebihi tanaman darat, dengan kapasitas mencapai lebih dari 500 ton CO₂ per hektar per tahun. Awalina memaparkan berbagai metode budidaya mikroalga, seperti open pond dan photobioreactor (PBR), serta tantangan yang dihadapi, seperti kebutuhan energi tinggi dan biaya operasional dalam sistem tertutup. Namun, ia juga menekankan bahwa mikroalga dapat menjadi solusi berkelanjutan apabila diintegrasikan dalam kerangka biorefinery dan ekonomi sirkular, yang tidak hanya fokus pada penangkapan karbon, tetapi juga pada produksi bioenergi dan produk bernilai tinggi lainnya.
Di akhir sesi diskusi salah satu peserta yang mempertanyakan peserta bagaimana cara memastikan teknologi Carbon Capture, Storage, and Utilization (CCSU) dapat diakses oleh industri kecil dan menengah (IKM) di Indonesia, mengingat biaya implementasi yang sangat tinggi. Julian Wicaksono menjawab bahwa salah satu solusi untuk mengatasi masalah ini adalah dengan penerapan model “hub and spoke“, di mana beberapa industri dapat berbagi fasilitas CCSU untuk mengurangi biaya dan meningkatkan efisiensi. Ia juga menyarankan pentingnya dukungan kebijakan yang dapat memberikan insentif kepada industri kecil, serta pemanfaatan fasilitas bersama untuk memastikan akses yang lebih merata terhadap teknologi ini.
Leave A Comment