The 10th Thee Kian Wie Lecture dengan tuan rumah Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Rabu, 14 Mei 2025 dengan pembicara utama Profesor Arief Anshory Yusuf (Dewan Ekonomi Nasional dan Universitas Padjadjaran) dan sambutan dari Profesor Budy Resosudarmo (ANU Indonesia Project), Siwage Dharma Negara (ISEAS-Yusof Ishak Institute) dan Moderator Purwanto (BRIN)
The 10th Thee Kian Wie Lecture didedikasikan untuk mengenang Dr. Thee Kian Wie, atau akrab disapa Pak Thee, seorang ahli sejarah ekonomi yang kiprahnya begitu besar dalam membentuk pemikiran dan arah kebijakan ekonomi Indonesia. Dalam sambutannya, Profesor Budy Resosudarmo (ANU Indonesia Project) menyoroti kemampuan Pak Thee dalam memadukan pendekatan historis dan analisis ekonomi kebijakan yang tajam. Ia menyebut karya-karya Pak Thee Sebagai rujukan penting dalam memahami industrialisasi Indonesia, serta kontribusinya dalam membangun jembatan antara generasi peneliti muda dan komunitas akademik global.
Siwage Dharma Negara (ISEAS-Yusof Ishak Institute) juga memberikan sambutan dan testimoni pribadi tentang bagaimana Pak Thee tidak hanya menjadi sosok akademisi yang produktif, tetapi juga seorang mentor yang rendah hati dan penuh dedikasi. Ia menceritakan bagaimana Pak Thee tetap konsisten mendorong budaya keilmuan yang etis, disiplin, dan kolaboratif meski dalam keterbatasan infrastruktur riset kala itu. Refleksi Siwage dan Budy menegaskan bahwa warisan intelektual Dr. Thee Kian Wie bukan hanya terletak pada publikasinya, tetapi juga pada ekosistem pengetahuan dan karakter ilmiah yang ia tinggalkan.
Profesor Arief Anshory Yusuf (Dewan Ekonomi nasional dan Universitas Padjadjaran) memberikan Thee Kian Wie Lecture dengan tema Memperkuat ekonomi domestik di tengah dinamika baru pembangunan global. Dalam pemaparannya, Arief memberikan analisa tentang stagnasi pertumbuhan produktivitas Indonesia dalam dua dekade terakhir. Ia menunjukkan bahwa momentum konvergensi Indonesia terhadap negara-negara maju yang sempat terlihat di tahun 1990-an kini telah berhenti. Salah satu penyebabnya adalah lemahnya transformasi struktural, yakni pergeseran tenaga kerja yang justru dominan menuju sektor jasa berproduktivitas rendah dan bukan ke sektor manufaktur atau sektor produktif lainnya. Rendahnya keterlibatan Indonesia dalam rantai nilai global dan lemahnya adopsi teknologi juga memperparah situasi ini. Kondisi ini menandai bahwa meskipun ekonomi Indonesia relatif tahan terhadap gejolak global, ia tetap rentan terhadap jebakan pertumbuhan yang lambat.
Arief mengusulkan empat strategi untuk merespons stagnasi produktivitas dan memperkuat daya saing ekonomi domestik. Salah satunya adalah, strategic shift berupa transformasi struktural yang disesuaikan dengan keragaman kondisi ekonomi antarwilayah di Indonesia, dan tidak mengandalkan pendekatan seragam nasional. Menurutnya, stagnasi produktivitas tidak hanya disebabkan oleh perlambatan sektor industri, tetapi juga oleh kegagalan realokasi tenaga kerja dan modal ke sektor-sektor yang lebih produktif. Transformasi perlu difokuskan pada tiga poros, salah satunya adalah modernisasi pertanian melalui teknologi dan mekanisasi untuk meningkatkan produktivitas pedesaan. Tanpa pergeseran struktural yang terarah dan berbasis kekuatan lokal ini, Indonesia berisiko terus terjebak dalam ekonomi konsumsi dan sektor informal yang tidak menopang pertumbuhan jangka panjang.
Dalam sesi tanya-jawab, seorang peserta diskusi mempertanyakan bagaimana strategic shift yang menekankan modernisasi pertanian dan hilirisasi sumber daya alam dapat diterapkan secara adil dan efektif di tengah ketimpangan struktural yang masih tinggi, terutama di wilayah pedesaan dimana masih banyak petani gurem dengan keterbatasan akses terhadap lahan, pembiayaan, dan teknologi, sehingga dikhawatirkan strategi ini justru memperbesar kesenjangan jika tidak dirancang secara inklusif. Menanggapi hal ini, Arief menegaskan bahwa transformasi struktural yang ia maksud tidak bisa hanya berorientasi pada output komoditas, tetapi harus berpusat pada pelaku yaitu masyarakat desa itu sendiri. Ia menyampaikan bahwa bentuk kelembagaan transformasi dapat bervariasi, seperti korporatisasi, koperasi, atau model agribisnis berbasis keluarga, namun prinsip utamanya adalah people-centered transformation. Dengan kata lain, keberhasilan strategic shift akan sangat tergantung pada sejauh mana negara mampu menciptakan skema transisi yang adil dan memberikan insentif serta perlindungan bagi pelaku ekonomi kecil dalam proses modernisasi.
Leave A Comment