FKP dengan tuan rumah FEB Universitas Gadjah Mada dengan narasumber Gumilang Aryo Sahadewo (Universitas Gadjah Mada), Rochiyati Murniningsih (Universitas Muhammadiyah Magelang), Bapak Tuhar, dan Bapak Istanto (mantan petani tembakau). Jumat, 26 November 2021.

KEY POINTS:

  1. Kebijakan cukai rokok adalah kebijakan yang dianggap efektif untuk menurunkan insiden merokok. Namun, kenaikan cukai rokok di Indonesia belum cukup progresif untuk meningkatkan harga rokok. Industri tembakau menciptakan narasi bahwa kebijakan pengendalian tembakau berdampak negatif terhadap kesejahteraan pekerja di sektor tembakau. Namun narasi tersebut sebenarnya tidak didukung bukti ilmiah terkait dinamika penghidupan petani tembakau. Oleh karena itu, studi mengenai dinamika penghidupan petani tembakau dan komparasi penghidupan petani dan mantan petani tembakau menjadi penting.
  2. Penelitian yang dilakukan oleh FEB UGM menemukan, antara lain, bahwa biaya pertanian tembakau melebihi biaya pertanian non-tembakau. Pendapatan petani tembakau cenderung fluktuatif, merugi di tahun yang buruk dan mendapat keuntungan di tahun yang baik. Hasil pertanian sangat tergantung pada cuaca. Biaya input pertaniannya juga besar dan biaya kesempatan ekonomi yang ditanggung anggota keluarga juga tinggi. Sementara studi yang dilakukan oleh Universitas Muhammadiyah Magelang menunjukkan bahwa budidaya tembakau bersifat turun-temurun sehingga cukup sulit bagi petani untuk melakukan diversifikasi atau berganti komoditas.

 

SUMMARY

  1. Kebijakan cukai rokok adalah kebijakan yang dianggap efektif untuk menurunkan insiden merokok. Namun, kenaikan cukai rokok di Indonesia belum cukup progresif untuk meningkatkan harga rokok. Kebijakan cukai rokok di Indonesia masih belum konsisten. Struktur cukai rokok masih kompleks dan kenaikan cukai rokok tahun 2021 tidak terlalu tinggi. Pemerintah masih memiliki ruang untuk kebijakan cukai rokok yang lebih progresif, utk meningkatkan efektivitas pengendalian tembakau
  2. Industri tembakau menciptakan narasi bahwa kebijakan pengendalian tembakau berdampak negatif terhadap kesejahteraan pekerja di sektor tembakau, khususnya petani tembakau. Namun narasi tersebut sebenarnya tidak didukung bukti ilmiah terkait dinamika penghidupan petani tembakau. Oleh karena itu, studi mengenai dinamika penghidupan petani tembakau dan komparasi penghidupan petani dan mantan petani tembakau menjadi penting untuk dilakukan. Gumilang Sahadewo dari FEB UGM menjelaskan tentang temuan gelombang ketiga dari Survei Petani Tembakau (SPT) yang dilakukan sejak tahun 2016 di daerah produsen tembakau tertinggi di Indonesia, antara lain di Lumajang, Jember, Bojonegoro, Magelang, dan Temanggung. 
  3. Dari survei tersebut, secara umum petani non-tembakau konsisten mengalami keuntungan antar waktu, sekalipun di tahun pertanian yang buruk (2016) petani non-tembakau tetap memperoleh keuntungan. Sementara itu petani tembakau mengalami kerugian pada tahun 2016. Harga tembakau cenderung fluktuatif dimana harga tersebut utamanya dipengaruhi selain oleh kualitas tembakau juga oleh struktur pasar tembakau. Survei menunjukkan bahwa biaya pertanian tembakau melebihi biaya pertanian non-tembakau. Petani tembakau menghabiskan biaya lebih tinggi untuk pupuk, pestisida, dan transportasi. Selain itu, petani tembakau juga mengeluarkan biaya tenaga kerja yang lebih besar. Pertanian tembakau adalah kegiatan yang padat karya. Secara umum, tenaga kerja pertanian tembakau berasal dari anggota keluarga dan selain keluarga. Anggota rumah tangga pertanian tembakau menghabiskan waktu yang lebih banyak dibandingkan anggota rumah tangga non-tembakau. Artinya, anggota rumah tangga tembakau menanggung biaya kesempatan ekonomi (opportunity cost) yang lebih besar sebab anggota rumah tangga tersebut bisa meluangkan waktunya untuk kegiatan ekonomi yang memberikan imbal lebih tinggi. Biaya tenaga kerja selain keluarga untuk pertanian tembakau juga lebih tinggi. 
  4. Petani tembakau yang beralih ke pertanian non-tembakau memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Sedangkan petani yang beralih ke tembakau memperoleh pendapatan yang lebih rendah. Selain itu, tingkat kemiskinan di antara petani tembakau di Indonesia cenderung tinggi. Persentase petani tembakau yang tergolong miskin masih tinggi, dan biaya yang harus dikeluarkan juga besar. Pendapatan petani tembakau cenderung fluktuatif, merugi di tahun yang buruk dan mendapat keuntungan di tahun yang baik. Hasil pertanian sangat tergantung pada cuaca. Biaya input pertaniannya juga besar dan biaya kesempatan ekonomi yang ditanggung anggota keluarga juga tinggi.
  5. Beberapa rekomendasi kebijakan ke depan antara lain adalah melakukan identifikasi dan pengembangan sumber air dan irigasi yang andal bagi usaha tani non-tembakau di musim kemarau. Layanan penyuluhan pertanian yang sesuai dengan kondisi setempat perlu disediakan, selain juga mendorong dibentuknya kelompok tani. Pemerintah dapat menyediakan modal usaha melalui program yang tersedia seperti program Dana Desa. lebih lanjut lagi, pemerintah dapat menetapkan insentif finansial dan non- finansial yang dikaitkan dengan budidaya tanaman non-tembakau.
  6. Berikutnya, Rochiyati Murni menjelaskan hasil studi yang Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) Universitas Muhammadiyah Magelang. Budidaya tembakau bersifat turun-temurun dan digambarkan sebagai brand keunggulan daerah penghasil tembakau sehingga cukup sulit bagi petani untuk melakukan diversifikasi atau berganti komoditas. Meskipun luas tanaman tembakau menurun, petani melihat penurunan ini diakibatkan faktor situasional seperti pandemi dan diversifikasi. Fluktuasi harga tembakau juga terus tinggi, tahun 2020 menjadi tahun dengan harga jual tembakau paling rendah. Semakin tinggi grade daun tembakau, seharusnya harga jualnya juga semakin tinggi. Namun, yang terjadi di lapangan tidak demikian. Penentu harga adalah para pedagang, tengkulak, grader, dan industri rokok. Perlu evaluasi kebijakan cukai dimana orientasinya tidak semata ke penerimaan melainkan ke peran cukai dalam peningkatan kesejahteraan petani sebagai aktor terpenting dalam produk tembakau.
  7. Dalam acara ini, hadir juga Bapak Tuhar dan Bapak Istanto, pelaku pertanian yang telah melakukan diversifikasi pertanian. Mereka menceritakan tantangan dalam diversifikasi pertanian dari tembakau. Menurut Pak Tuhar, merubah mindset petani tembakau ke budidaya lain memang sulit. Di daerah Pak Tuhar, diversifikasi dilakukan dengan tumpang sari. Berdasarkan pengalaman, kopi menghasilkan hasil yang lebih menguntungkan dibandingkan tembakau. Diversifikasi ini membantu petani bertahan ketika harga tembakau sedang jatuh. Apabila petani tembakau tidak bisa atau sulit menjual rokok, petani bisa menjual kopi dalam bentuk produk secara langsung. Selanjutnya Pak Istanto menjelaskan bahwa awalnya petani di daerah beliau hanya menanam tembakau. Tahun 2013 hasil tanam tembakau buruk akibat cuaca, sehingga petani berinisiatif untuk menanam ubi jalar, dan mendapat keuntungan yang besar. Akhirnya pertanian ubi jalar meningkat pesat. Panen dilakukan setiap hari untuk menghindari panen secara bersamaan (panen raya) yang menyebabkan jatuhnya harga. Pak Istanto dan petani lain juga menginisiasi pembelian panen ubi dengan harga kontrak dengan perusahaan. Ke depan, pemerintah perlu membantu agar di musim kemarau, petani dapat menanam selain tembakau.
Download slides (Rochiyati Murni)
Download paper (Gumilang Sahadewo)