FKP dengan tuan rumah Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dengan narasumber Pembicara Fajri Nursyamsi (Pengajar STH Indonesia Jentera) Violla Reininda (Peneliti PSHK), Bugivia Maharani (Asisten Peneliti PSHK) dan Cikal Restu Syiffawidiyana (Asisten Peneliti PSHK). Jumat, 22 Desember 2023.

KEY POINTS:

  1. Capaian legislasi tahun 2023 menunjukkan ketidakmampuan mencapai target yang telah ditetapkan, dengan hanya 19 dari 259 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berhasil disahkan dalam Program Legislasi Nasional Prioritas (PROLEGNAS) lima tahun periode 2020-2024. RUU yang disahkan cenderung memiliki durasi pembahasan yang singkat, sementara RUU yang didorong oleh masyarakat, seperti RUU Perampasan Aset dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, berjalan lambat.
  2. Saat ini terjadi degradasi demokrasi karena hilangnya keterlibatan dan pengabaian terhadap hak publik untuk partisipasi yang bermakna dalam pembuatan undang-undang. Penyempitan ruang publik terjadi dengan disahkannya revisi kedua UU ITE, dan reformasi terancam karena produk hukum cenderung memfasilitasi praktik-praktik orde baru. Partisipasi publik yang bermakna terhambat oleh akses yang terbatas terhadap dokumen peraturan perundang-undangan, ruang waktu partisipasi terbatas, komunikasi satu arah, dan partisipasi hanya sebagai mobilisasi.

 

SUMMARY

  1. Capaian legislasi tahun 2023 tidak mencapai target yang telah ditetapkan, sebagaimana terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Bugivia Maharani, Asisten Peneliti PSHK, mencatat bahwa dari prolegnas lima tahun periode 2020-2024, hanya 19 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berhasil disahkan dari target sebanyak 259 RUU. RUU yang disahkan tersebut cenderung memiliki durasi pembahasan yang sangat singkat, seperti Revisi UU IKN dan Revisi UU ITE, sementara RUU yang telah lama didorong oleh masyarakat, seperti RUU Perampasan Aset dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, berjalan lambat.
  2. Dari permasalahan tersebut, dapat dilihat bahwa terjadi degradasi demokrasi akibat hilangnya keterlibatan dan pengabaian terhadap hak publik untuk melakukan partisipasi yang bermakna dalam pembuatan undang-undang. Hal ini juga disertai dengan penyempitan ruang publik akibat disahkannya revisi kedua UU ITE, serta ancaman terhadap reformasi karena produk hukum yang dihasilkan cenderung memfasilitasi kembalinya praktik-praktik orde baru, seperti pemberian jabatan sipil bagi prajurit aktif TNI. 
  3. Violla Reininda, Peneliti PSHK, menambahkan bahwa meskipun Indonesia sudah menjalani 25 tahun reformasi, belum terlihat kedewasaan dalam penyelenggaraan negara dan keterlibatan masyarakat dalam pembentukan kebijakan. Sebaliknya, ruang sipil semakin menyempit dan demokrasi mengalami penurunan.
  4. Keputusan penting Mahkamah Konstitusi tahun lalu tentang pengujian formil UU Cipta Kerja memunculkan istilah “meaningful participation” atau partisipasi yang bermakna. Meaningful participation ini menunjukkan bagaimana partisipasi publik harus dilakukan secara bermakna, tidak hanya secara formil yang selama ini diklaim dalam pembentukan undang-undang. Partisipasi publik yang bermakna tidak dapat diwujudkan apabila ruang untuk partisipasi masih tertutup. Aksesibilitas terhadap dokumen peraturan perundang-undangan, naskah akademik, dan rapat pembahasan masih menjadi masalah hingga saat ini. Selain itu, bentuk partisipasi informal seperti demonstrasi belum diakui sebagai bagian dari proses perumusan kebijakan, sehingga partisipasi publik yang bermakna semakin terbatas.
  5. Paling tidak, terdapat lima hal yang perlu dipertahankan dan diperluas untuk mendorong partisipasi yang bermakna: inisiatif pembentukan UU yang memfasilitasi keterlibatan publik, eksistensi oposisi, transparansi dan aksesibilitas informasi, justifikasi akademis yang memadai, kejelasan mengenai metode dan teknik perancangan, dan waktu yang memadai.
  6. Fajri Nursyamsi, pengajar di STH Indonesia Jentera, menjelaskan bahwa legislasi merupakan cermin dari proses demokrasi di Indonesia, dengan tujuan akhirnya adalah akuntabilitas dalam sistem kerja pemerintah. Proses ini dimulai dengan transparansi dan partisipasi. Meskipun Konstitusi telah menjamin proses yang partisipatif, putusan MK mengenai partisipasi yang bermakna menunjukkan bahwa komunikasi timbal balik antara pembuat kebijakan dan publik sangat penting. Meskipun UU pembentukan peraturan perundang-undangan memberikan jaminan partisipasi publik, normanya belum cukup kuat dalam mendorong pemerintah untuk memenuhi hak partisipasi tersebut, karena tidak ada sistem yang memastikan pelaksanaannya.
Download slides