FKP dengan tuan rumah ANU Indonesia Project dengan narasumber Hizkia Respatiadi dan Arianto Patunru. Selasa, 16 Januari 2024.

 

KEY POINTS:

  1. Penelitian Hizkia Respatiadi menyoroti faktor-faktor yang membentuk preferensi terhadap kemandirian pangan. Faktor material, seperti keuntungan politik dan finansial, serta faktor ideasional, seperti ide kemerdekaan nasional dan semangat anti-kolonial, memiliki pengaruh signifikan dalam membentuk pandangan pemerintah terkait swasembada pangan. World view yang menekankan kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia menjadi dasar untuk kebijakan pembatasan impor guna melindungi petani dan mewujudkan kemandirian pangan.
  2. Penelitian ini menyoroti peran utama eksekutif, terutama presiden dan menteri terkait, dalam menentukan arah agenda kemandirian pangan. Meskipun pembentukan UU Cipta Kerja merevisi Undang-undang Pangan dan Petani, ideologi swasembada pangan tetap kuat. Preferensi pemerintah terhadap kemandirian pangan melalui pembatasan impor tetap konsisten. Penelitian ini menyoroti interaksi kompleks antara faktor material dan ideasional dalam membentuk kebijakan kemandirian pangan, menekankan peran ide dalam membentuk preferensi kebijakan perdagangan.

 

SUMMARY

  1. Meskipun swasembada pangan merupakan tema yang terus dibahas dalam politik Indonesia, hal ini mendapat perhatian kembali dalam beberapa periode administrasi presiden terakhir. Mulai dari Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) hingga Joko Widodo (2014 hingga 2024), semuanya menunjukkan preferensi mereka terhadap swasembada pangan, khususnya melalui pembatasan impor. Pertanyaannya adalah, faktor-faktor apa yang membentuk preferensi mereka terhadap hal ini?
  2. Hizkia Respatiadi membahas hal tersebut dalam disertasinya di University of Otago, New Zealand, dengan menggunakan teori-teori pembentukan preferensi kebijakan perdagangan, studi mendalam terhadap dokumen-dokumen Indonesia tentang kemandirian pangan, dan wawasan yang diperoleh dari pendapat elit politik, perwakilan asosiasi kepentingan bisnis, dan organisasi petani, serta akademisi mengenai kemandirian pangan Indonesia. Secara khusus, penelitian ini melacak pembentukan tiga undang-undang Indonesia yang menetapkan kemandirian pangan melalui pembatasan impor, yaitu Undang-Undang Pangan 18/2012, Undang-Undang Petani 19/2013, dan Undang-Undang Cipta Kerja 11/2020.
  3. Faktor material (keuntungan politik dan finansial) dan faktor ideasional (ide kedaulatan nasional dan semangat anti-kolonial) secara signifikan mempengaruhi preferensi aktor domestik terkait swasembada pangan. World view pemerintah dan politisi adalah bahwa Indonesia adalah negara yang merdeka, independen, berdaulat, dan memiliki semangat anti penjajahan. Pandangan tersebut kemudian menjadi prinsip bahwa dengan bergantung dengan negara lain maka ada peluang intervensi terhadap kebijakan dalam negeri, yang menggerus kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Dari prinsip tersebut, swasembada pangan dilakukan untuk memastikan sumber pangan seluruhnya berasal dari dalam negeri, dan melakukan pembatasan impor untuk melindungi petani. Interaksi faktor ini, yang dimediasi oleh sistem politik Indonesia, berkontribusi pada pengesahan Undang-Undang Pangan dan Petani serta Undang-Undang Cipta Kerja. 
  4. Eksekutif memiliki wewenang yang menentukan dalam mendorong agenda swasembada pangan. Meskipun legislatif terlibat secara signifikan selama proses perundingan Undang-Undang Pangan dan Petani serta UU Cipta Kerja, presiden atau salah satu menterinya menjadi aktor utama yang mendorong RUU tersebut dan memastikan disahkannya menjadi undang-undang. Meskipun demikian, kasus UU Cipta Kerja menunjukkan bahwa faktor ideasional swasembada pangan dapat melampaui konfigurasi politik ini. Akibatnya, ketika eksekutif memutuskan untuk tidak mendorong agenda swasembada pangan (dengan melunakkan pembatasan impor pangan), justru legislatif yang melakukannya, dan kedua pihak tersebut harus mencapai suatu kompromi.
  5. Kasus UU Cipta Kerja menunjukkan bahwa faktor ideasional dapat mengatasi peran utama ini, menghasilkan keterlibatan legislatif dan kompromi saat eksekutif tidak mendorong agenda kemandirian pangan. Di samping itu, faktor ideologi swasembada pangan ternyata juga masih kuat sehingga presiden Jokowi masih memiliki ambisi proyek Food Estate di samping membuka keran impor dengan UU Cipta Kerja. Meskipun mengalami revisi melalui UU Cipta Kerja, preferensi pemerintah terhadap kemandirian pangan melalui pembatasan impor tetap tidak berubah. 
  6. Secara keseluruhan, penelitian ini menekankan peran faktor ideasional bersama kepentingan material, membuka wawasan pada pembahasan seputar agenda kemandirian pangan Indonesia di luar argumen politik dan finansial konvensional. Selain itu, penelitian ini juga memberikan kontribusi pada pemahaman politik ekonomi perdagangan dengan menekankan peran ide dalam membentuk preferensi kebijakan perdagangan.
  7. Pandangan di masyarakat tentang pentingnya swasembada pangan perlu kembali diuji, penting untuk kritis terhadap kekhawatiran tentang ketergantungan dengan pihak asing sebagai ancaman terhadap kemerdekaan. Kemerdekaan perlu dimaknai secara lebih luas, terkait kesehatan dan kecukupan gizi, sehingga lebih bermakna dibanding soal pembatasan impor. Proses tersebut tentu butuh waktu panjang karena pandangan tersebut sudah berlangsung selama puluhan tahun.
Download slides