FKP dengan tuan rumah WRI Indonesia dengan narasumber Septrina Frisca Tobing (WRI Indonesia), Dwiki Ridhwan (WRI Indonesia), dan Caroline Astri (WRI Indonesia). Jumat, 12 Maret 2021.

 

KEY POINTS:

  1. Kawasan konservasi yang tumpang tindih dengan wilayah adat menyebabkan adanya konflik lahan. Salah satu solusi untuk konflik tenurial adalah Inisiatif Satu Peta di Tingkat Desa (Itupede). Itupede menerapkan pemetaan partisipatif dan model tata kelola lahan baru bersama dengan masyarakat adat yang bersifat bottom-up. Melalui Itupede ini, peta-peta adat yang belum masuk di KSP dapat diusulkan kepada pemerintah. Hutan adat Gajah Bertalut telah mendapat pengakuan oleh Pemerintah Kabupaten Kampar di tahun 2018.
  2. Selain konflik tenurial, peningkatan partisipasi perempuan dalam hutan adat khususnya pada skema Perhutanan Sosial juga menjadi isu penting. Cara masyarakat berpartisipasi tidak diatur dalam Perhutanan Sosial secara spesifik, sehingga partisipasi disesuaikan dengan aturan hutan adat yang ada. Dari hasil studi, pendekatan hutan adat sejauh ini cenderung menguntungkan kelompok elit terutama laki-laki, dan partisipasi perempuan masih terbatas. Sistem Perhutanan Sosial harus bisa sensitif terhadap kondisi tersebut dan berupaya memberikan kesempatan untuk perempuan. 

 

SUMMARY

  1. Penggunaan lahan yang tumpang-tindih dan tata kelola lahan yang buruk menjadi permasalahan utama dalam konflik lahan dalam kawasan hutan di Indonesia (konflik tenurial). Keberadaan masyarakat adat di kawasan konservasi menyebabkan adanya tumpang tindih penggunaan lahan antara masyarakat adat dengan pemerintah. Situasi ini menyebabkan masalah sosial dan lingkungan, terutama masalah deforestasi dan kendala pemenuhan hak-hak masyarakat adat khususnya terkait lahan dan status sebagai masyarakat hutan adat. Pada tahun 2021 tercatat 488 kasus konflik tenurial, namun hanya 54 kasus yang telah selesai dan sisanya masih pada tahap pendalaman berkas. 
  2. Salah satu solusi untuk konflik tenurial yang sudah dilakukan pemerintah adalah kebijakan satu peta (KSP) untuk memperbaiki tata kelola penggunaan lahan melalui kompilasi, integrasi, dan sinkronisasi peta di seluruh Indonesia. Namun peta ini belum memperhitungkan peta wilayah adat, peta perkebunan petani swadaya, dan peta perhutanan sosial. Selain KSP, ada juga skema perhutanan sosial sebagai alternatif penyelesaian konflik antara masyarakat dan pemanfaatan SDA dalam kawasan hutan. 
  3. Kedua pendekatan solusi konflik tersebut yang kemudian digunakan dalam Inisiatif Satu Peta di Tingkat Desa (Itupede). Itupede menerapkan kebijakan KSP di tingkat tapak (unit paling dasar di daerah pada bidang lingkungan hidup dan kehutanan) dengan menerapkan model tata kelola lahan baru bersama dengan masyarakat adat yang bersifat bottom-up dengan prinsip akuntabilitas, inklusivitas, dan keberlanjutan. Itupede membantu masyarakat mengelola SDA berbasis masyarakat, melakukan pemetaan partisipatif, dan membentuk perencanaan penggunaan lahan. Melalui Itupede ini, peta-peta adat yang belum masuk di KSP dapat diusulkan kepada pemerintah.
  4. Model Itupede telah diimplementasikan dalam konflik lahan masyarakat adat Gajah Bertalut yang berada di kawasan konservasi Suaka Margasatwa Rimbang Baling, Provinsi Riau. Selain Gajah Bertalut, ada banyak wilayah adat lain di kawasan suaka margasatwa tersebut. Masyarakat adat sudah tinggal di wilayah tersebut sejak sebelum kemerdekaan, masyarakat tersebut baru mengetahui bahwa mereka tinggal di kawasan konservasi ketika polisi hutan datang dan memberlakukan berbagai peraturan bagi masyarakat adat. 
  5. Berdasarkan pemetaan partisipatif batas wilayah adat, Gajah Bertalut memiliki lahan seluas 4.414 hektar. Apabila digabungkan dengan 6 wilayah adat yang lain secara keseluruhan luas wilayah adat adalah sebesar 50 ribu hektar, atau sekitar 40% dari kawasan konservasi Rimbang Baling. Hal ini menunjukkan besarnya tumpang tindih penggunaan lahan/konflik tenurial. 
  6. Pemetaan partisipatif wilayah adat dilakukan bersama masyarakat. Masyarakat didampingi untuk melakukan ground check dan membuat maket tiga dimensi (yang melibatkan perempuan dengan memanfaatkan bahan-bahan seperti tepung, dsb), agar memberikan pemahaman spasial wilayah adat bagi masyarakat adat. Dalam pemetaan partisipatif tersebut terdapat batas wilayah adat, wilayah pemukiman, perairan dan hutan larangan, dan batas wilayah berdasarkan tipe penggunaan lahan sesuai dengan aturan adat yang berlaku. Hasil pemetaan kemudian menjadi dokumen deklarasi bersama pengusulan hutan adat. 
  7. Dari evaluasi data, luas tree cover loss (2001-2019) di wilayah adat ditemukan lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lain yang ada di suaka margasatwa rimba baling (konversi lahan, perkebunan sawit). Hal ini bisa membantu masyarakat untuk mendapat pengakuan atas hutan adat oleh pemerintah. Hutan adat Gajah Bertalut telah mendapat pengakuan oleh Pemerintah Kabupaten Kampar di tahun 2018, namun saat ini proses pengajuan masih berhenti di KLHK. Pendekatan Itupede kemudian diimplementasikan juga di wilayah lain seperti di wilayah lain di Riau, Sumatera Selatan, Papua, dan Papua Barat. 
  8. Selain konflik tenurial, WRI Indonesia juga fokus pada peningkatan partisipasi perempuan dalam hutan adat, khususnya pada skema perhutanan sosial. Bagaimana cara masyarakat berpartisipasi tidak diatur dalam perhutanan sosial secara spesifik, sehingga partisipasi disesuaikan dengan aturan hutan adat yang ada. Dalam peraturan menteri, pemanfaatan hutan adat sesuai dengan pengetahuan tradisional yang diakui dan disetujui oleh lembaga adat. Ada dua desa yang menjadi wilayah pendampingan yaitu desa Dempo di Sumatera Selatan dan desa Kampar di Riau. 
  9. Berikut adalah beberapa hal yang mempengaruhi bagaimana perempuan terlibat dalam pengelolaan hutan adat. 
    • Aturan keanggotaan. Pemilihan anggota pengurus terbatas dan ditentukan oleh elit desa. Pengurus hutan didominasi oleh anggota lembaga adat yang semuanya adalah laki-laki. Di desa Kampar, keputusan dipegang oleh lembaga adat (Ninik Mamak) yang anggotanya hanya boleh laki-laki. Pelibatan perempuan baru terjadi atas usul pendamping (pihak eksternal).
    • Norma dan persepsi sosial. Ada beban ganda bagi perempuan dalam masa panen, yaitu mengurus panen dan rumah secara bersamaan. Perempuan memang punya hak atas lahan rumah, namun untuk lahan kolektif/komunitas pengaruh perempuan sangat terbatas (pendapat disampaikan melalui suami). 
    • Perbedaan kesempatan dan peluang partisipasi. Peluang perempuan untuk berpartisipasi berkaitan dengan kendali laki-laki dalam urusan tersebut, perempuan jarang dilibatkan misal pada konflik batas wilayah, juga wewenang lembaga adat selalu dipegang oleh laki-laki. 
    • Keunggulan atribut individu, dan rumah tangga. Perempuan bisa terlibat biasanya sudah menikah, pernah bekerja di luar, fasih berbahasa Indonesia, dan memiliki pengaruh ekonomi. 
  10. Dari hasil studi, pendekatan hutan adat sejauh ini cenderung menguntungkan kelompok elit terutama laki-laki, partisipasi perempuan masih terbatas. Penting untuk bisa melihat sistem dan atribut komunitas masyarakat, dan bagaimana sistem Perhutanan Sosial bisa sensitif terhadap kondisi tersebut dan berupaya memberikan kesempatan untuk perempuan.

 

Download slides (Septrina Frisca Tobing)