FKP dengan tuan rumah Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dengan narasumber  Achmad Baidowi (Badan Legislasi DPR), Abdil Mughis Mudhoffir (Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta), Lailani Sungkar (Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran), dan Antoni Putra (PSHK). Rabu, 22 Desember 2021.

KEY POINTS:

  1. Dalam beberapa tahun terakhir, undang-undang yang dibentuk oleh DPR bersama Pemerintah banyak menuai kritik dan penolakan karena publik merasa tidak dilibatkan dalam proses pembentukannya. Secara konstitusional, publik memiliki hak untuk terlibat dalam pembentukan undang-undang. Partisipasi publik memang merupakan aspek teknis dalam proses legislasi, namun syarat formil dan aspek teknis yang dipenuhi tidak selalu berarti UU yang dihasilkan adil dan inklusif. Hal ini terjadi karena kerap kali publik yang berpartisipasi tidak representatif.
  2. Hukum dan legislasi sering terjebak dalam tindakan yang lebih merepresentasikan hubungan subjek-objek. Oleh karena itu penting untuk menggunakan tindakan komunikasi yang menggunakan rasionalitas dan bertujuan mencapai konsensus. Komunikasi seperti ini memiliki beberapa prasyarat antara lain bahasa yang sama, posisi sejajar, dan didahului kesepakatan umum. Demokrasi yang sehat adalah ketika negara dapat mengakses opini dari ruang publik dimana diskusi publik bersifat sehat dan kritis, bebas dari sensor, dominasi, dan intimidasi.

 

SUMMARY

  1. Dalam beberapa tahun terakhir, undang-undang yang dibentuk oleh DPR bersama Pemerintah banyak menuai kritik dan penolakan karena publik merasa tidak dilibatkan dalam proses pembentukannya. Secara konstitusional, publik memiliki hak untuk terlibat dalam pembentukan undang-undang. Persoalan minimnya partisipasi publik merupakan salah satu alasan dalam pengujian UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi hingga mencapai 21 permohonan, baik pengujian formil maupun materil. Pada 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UU Cipta Kerja ‘inkonstitusional bersyarat’ karena mengandung cacat formil dalam proses pembentukannya, serta menegaskan vitalnya partisipasi masyarakat dalam proses legislasi (Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020).
  2. Achmad Baidowi dari Badan Legislasi DPR, menyampaikan bahwa sebenarnya UU Cipta Kerja sudah memberikan porsi bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Namun demikian, putusan MK yang menyebutkan bahwa partisipasi tersebut belum cukup akan dihormati dengan membuka kembali partisipasi. Selanjutnya, dijelaskan bahwa RUU yang tidak selesai adalah hal biasa karena adanya proses politik. Sebagai contoh, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sudah menjadi keputusan badan legislasi, dan sudah diserahkan untuk diagendakan di badan musyawarah untuk dibahas dalam rapat paripurna dimana RUU kemudian sudah menjadi ranah fraksi. Di situ proses akhir yang menentukan selesai tidaknya RUU tersebut.
  3. Abdil Mughis Mudhoffir dari Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta menjelaskan bahwa proses legislasi sebenarnya bertujuan menghasilkan produk UU yang adil, inklusif, dan melindungi hak warga negara. Namun tidak selalu hal ini sesuai dengan kenyataan. Partisipasi publik memang merupakan aspek teknis dalam proses legislasi. Namun dipenuhinya syarat formil dan aspek teknis tidak selalu berarti UU yang dihasilkan adil dan inklusif. Hal ini karena kerap kali publik yang berpartisipasi tidak representatif.
  4. Lailani Sungkar dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran menjelaskan tentang bagaimana teori partisipasi yang bermakna bisa berjalan dalam proses legislasi. Partisipasi publik pada dasarnya adalah pola hubungan manusia. Menurut Habermas, pola hubungan manusia dapat dilihat dalam hubungan subjek dan objek. Pola hubungan ini menghasilkan rasio, yaitu cara berpikir untuk memecahkan masalah. Apabila persoalannya adalah subjek-subjek atau subjek-itself, menurut Habermas, rasio yang tepat digunakan adalah rasio komunikasi. Hukum dan legislasi sering terjebak dalam tindakan yang bersifat strategis dalam komunikasi, yang lebih merepresentasikan hubungan subjek-objek.
  5. Oleh karena itu penting untuk menggunakan tindakan komunikasi yang menggunakan rasionalitas dan bertujuan mencapai konsensus. Komunikasi memiliki beberapa prasyarat antara lain bahasa yang sama, posisi sejajar, dan didahului kesepakatan umum. Hasil dari rasio komunikasi adalah Demokrasi Deliberatif atau Musyawarah, yang mana cirinya adalah komunikasi dua arah, keterlibatan, pertimbangan, refleksi, partisipasi, dan publik yang fokus pada proses. Wadah dari demokrasi ini adalah keterbukaan ruang publik (sosial media, petisi, dsb). Demokrasi yang sehat adalah ketika negara dapat mengakses opini dari ruang publik. Diskusi publik juga perlu sehat dan kritis, bebas dari sensor, dominasi, dan intimidasi.
  6. Antoni Putra dari PSHK Indonesia memaparkan catatan akhir tahun PSHK 2021 tentang masa depan partisipasi publik dalam proses legislasi. Keterlibatan publik sangat terbatas, dan dalam beberapa kasus pembentukan UU, Naskah Akademik dan RUU justru sulit didapatkan secara resmi. Namun demikian, tanggapan pemerintah atas tuntutan publik untuk berpartisipasi justru tidak mendorong partisipasi. Dalam pembentukan UU Cipta Kerja, pemerintah meminta aparat keamanan (Kepolisian dan BIN) untuk berdiskusi dengan kelompok yang menolak RUU Cipta Kerja. Selain itu, pemerintah juga menghimbau bagi siapa yang tidak setuju UU Cipta Kerja untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Pemerintah mengatakan bahwa partisipasi publik akan dimaksimalkan dalam pembentukan peraturan pelaksana. Di sisi lain, tanggapan DPR terhadap tuntutan partisipasi antara lain banyak anggota DPR yang menyatakan bahwa DPR adalah representasi dari partisipasi publik. Selain itu, ada juga anggapan apabila semua kelompok dilibatkan, maka UU tidak akan selesai.
Download slides