FKP dengan tuan rumah Lembaga Demografi FEB UI dengan narasumber Profesor Multamia RMT Lauder (Departemen Linguistik, Fakultas Ilmu-Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia). Kamis, 31 Agustus 2021.

KEY POINTS:

  1. Berbagai panduan, poster, selebaran, atau pengumuman dari Gugus Tugas COVID-19 yang menggunakan Bahasa Indonesia sarat dengan kata pinjaman dari bahasa asing. Informasi mengenai pandemi ini cenderung hanya dipahami oleh masyarakat perkotaan yang berpendidikan tinggi. Tidak ada upaya untuk melakukan pemberdayaan ketangguhan komunitas berdasarkan budaya setempat untuk menangani pandemi Covid-19 di Indonesia. Pemerintah perlu mendorong tumbuhnya pemahaman, kesadaran, dan kepatuhan mengikuti protokol kesehatan sesuai budaya masyarakat masing-masing.
  2. Intervensi coba dilakukan Tim Pakar Sosial Budaya dari Tim Penanganan COVID-19, dengan memberikan materi yang disampaikan ke masyarakat dalam bahasa daerah dan disesuaikan dengan kondisi sosial budayanya. Dalam ujicoba ditemukan bahwa masyarakat merasa bangga bahwa bahasa dan budaya mereka digunakan untuk menanggulangi masalah COVID-19. Ujicoba intervensi ini kemudian di eskalasi ke berbagai daerah lain dan ternyata dapat diterapkan ke berbagai komunitas di Indonesia untuk mengurangi penyebaran virus COVID-19.

SUMMARY

  1. Dalam krisis penyebaran virus, dengan banyaknya kasus dan korban meninggal, salah satu persepsi yang muncul belakangan adalah pemerintah menganggap kemungkinan besar tingginya kasus ini diakibatkan perilaku masyarakat tidak patuh pada protokol kesehatan. Namun, Badan Nasional Penanggulangan (BNPB) Bencana yang bertanggung jawab melakukan penanggulangan tidak memiliki pengalaman dalam menangani wabah yang memerlukan perubahan perilaku masyarakat. Padahal, proses pemutusan mata rantai penularan Covid-19 sangat terkait dengan perubahan perilaku manusia. Profesor Dr. Multamia Lauder dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, menjelaskan tentang bagaimana pendekatan budaya berperan dalam upaya perubahan perilaku masyarakat. 
  2. Berdasarkan hasil analisis Tim Pakar Sosial Budaya, bagian dari Tim Penanganan COVID-19, kendala yang langsung terdeteksi ada pada berbagai panduan, poster, selebaran, atau pengumuman dari Gugus Tugas COVID-19 yang menggunakan Bahasa Indonesia sarat dengan kata pinjaman dari bahasa asing. Berdasarkan observasi, informasi mengenai pandemi ini hanya cenderung dipahami oleh masyarakat perkotaan yang berpendidikan tinggi. Tidak ada upaya untuk melakukan pemberdayaan ketangguhan komunitas berdasarkan budaya setempat untuk menangani pandemi Covid-19 di Indonesia.
  3. Dalam komunikasi publik penanganan COVID-19, komunikasi seakan dilakukan sepihak dengan banyaknya istilah asing yang digunakan: adopsi, apresiasi, diseminasi, indikator, komorbid, konten, mitigasi, multidisiplin, protokol, suplemen, virus, yustisi. Istilah-istilah tersebut belum termasuk kosakata asing yang belum diserap: merchandise, output, flyer, role model, best practice, pentahelix. Hal ini juga diperburuk oleh keputusan Kementerian Kesehatan yang secara sepihak mengganti istilah-istilah sebelumnya yang justru makin membingungkan masyarakat. Hal itu dilakukan tanpa koordinasi dengan Tim Penanganan Covid-19 apalagi dengan Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai satu-satunya otoritas kebahasaan. Perubahan tersebut antara lain mengganti istilah OTG (Orang Tanpa Gejala), ODP (Orang Dalam Pengawasan), dan PDP (Pasien Dalam Pengawasan) dengan istilah baru seperti kontak erat, kasus suspek, kasus probable, dan kasus konfirmasi.
  4. Dengan permasalahan komunikasi tersebut, dugaan bahwa masyarakat cenderung tidak patuh pada protokol kesehatan secara sengaja, belum tentu sepenuhnya benar. Ada kemungkinan rendahnya kepatuhan disebabkan masyarakat di pedesaan yang berpendidikan rendah tidak sepenuhnya memahami informasi yang disampaikan oleh Tim COVID-19. Masyarakat merasa bahwa kebijakan pemerintah, seperti lockdown atau PSBB, hanya mempersulit hidup mereka. Perlu strategi komunikasi publik yang dapat mendorong tumbuhnya pemahaman, kesadaran, dan kepatuhan mengikuti protokol kesehatan sesuai budaya masyarakat masing-masing. Intervensi komunikasi publik akhirnya dilakukan oleh Tim Pakar Sosial Budaya untuk mencoba meningkatkan ketangguhan masyarakat terhadap pandemi.
  5. Ujicoba intervensi disampaikan ke beberapa komunitas, namun utamanya terfokus pada masyarakat Jawa perantauan yang bermukim di Kalimantan Timur. Materi yang disampaikan ke masyarakat dibuat dalam bahasa daerah dan disesuaikan dengan kondisi sosial budaya Provinsi Kalimantan Timur. Terdapat tiga buah materi yang dijadikan uji coba intervensi: pertama berupa foto berbusana pakaian daerah yang mengajak masyarakat menggunakan masker untuk berperang melawan COVID-19, kedua berupa kartun yang mengajak masyarakat bersama-sama bertindak untuk memutus mata rantai penularan COVID-19, dan ketiga berupa poster yang mengajak masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan apabila keluar rumah. Materi tersebut disampaikan melalui Facebook Group Busam Bubuhan Samarinda yang beranggutakan sekitar 880.000 orang yang merupakan wadah komunikasi bagi seluruh keluarga di Provinsi Kalimantan Timur.
  6. Selain ajakan berbahasa daerah menggunakan poster, istilah yang digunakan juga disesuaikan dengan kebudayaan setempat. Hal yang menarik adalah bahwa istilah pandemi yang digunakan dalam bahasa daerah (Sampar, Penyakit, Onroanna Lasae, Wabah Penyahit, Pageblug, Perempehan, Garring Pua’) sebenarnya sudah mengandung sejumlah protokol kesehatan, antara lain seperti cuci kaki dan tangan sebelum masuk rumah, berjemur diri di pagi hari, dan banyak makan sayuran serta buah-buahan untuk meningkatkan imunitas tubuh.
  7. Respon masyarakat terhadap konten intervensi tersebut secara umum bersifat positif. Masyarakat menyatakan jauh lebih memahami dan secara sukarela menyatakan berjanji akan mematuhi protokol kesehatan. Mereka merasa bangga bahwa bahasa dan budaya mereka di perantauan digunakan untuk menanggulangi masalah COVID-19. Meskipun demikian, tetap ada beberapa orang, jumlahnya mencapai 9.09% yang bersikap negatif yang menganggap usaha ujicoba intervensi yang dilakukan kurang bermanfaat karena inti masalahnya bukan COVID-19 tetapi lebih pada adanya konspirasi bisnis untuk menyengsarakan rakyat. 
  8. Selain  ujicoba intervensi pada komunitas Jawa perantauan di Kalimantan Timur, komunitas lain yang memperoleh ujicoba intervensi adalah komunitas Banjar, Berau, Bugis, Dayak Bahau, Dayak Kenyah, Kutai Muara Muntai, Kutai Sabintuung, dan Makassar.
  9. Ujicoba intervensi yang dilaksanakan di Kalimantan Timur oleh BNPB dieskalasi ke tataran nasional. BNPB menggandeng Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kemdikbud untuk menerjemahkan Pedoman Perubahan Perilaku Protokol Kesehatan dalam 77 Bahasa Daerah. Kepala Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa langsung memerintahkan semua Balai/kantor Bahasa di setiap provinsi untuk membantu menerjemahkan ke dalam bahasa daerah setempat. Ujicoba intervensi ini ternyata dapat diterapkan ke berbagai komunitas demi terwujudnya perubahan perilaku terhadap protokol kesehatan di seluruh Indonesia.
    Acara FKP ini diliput oleh Harian Kompas dalam artikel berjudul “Keampuhan Budaya Lokal” yang ditulis Ninuk Mardiana Pambudy, yang dapat dibaca dari tautan berikut: https://www.kompas.id/baca/kesehatan/2021/09/09/keampuhan-budaya-lokal/ 
Download slides (Multamia Lauder)