FKP dengan tuan rumah WRI Indonesia dengan Rizky Januar (WRI Indonesia) dan Rahmah Devi Hapsari (WRI Indonesia). Kamis, 25 March 2021.

 

KEY POINTS:

  1. Beberapa hal yang dilakukan masyarakat Beringin Tinggi dapat menjadi contoh praktik baik pengelolaan hutan desa. Jika dilakukan pembukaan hutan, telah disepakati oleh masyarakat untuk dibatasi pada area bekas konsesi yang telah terdegradasi. Masyarakat memiliki nilai adat dan proses musyawarah yang menjadi kunci praktik baik dalam pengelolaan hutan. Namun, akses informasi dan kapasitas dalam kemampuan inovasi ekonomi hutan masih terbatas sehingga masyarakat tidak memiliki banyak alternatif sumber penghidupan yang berkelanjutan.
  2. Kebakaran lahan gambut yang sering terjadi di Indonesia membuat manajemen risiko menjadi krusial. Saat ini, upaya restorasi lahan masih terfragmentasi; dikeluarkannya ijin untuk konsesi; serta adanya aktivitas pembakaran yang disengaja di wilayah gambut, menyebabkan kerentanan yang semakin buruk. Perubahan terkait tata kelola risiko mulai terlihat pada tahun 2014 ketika pemerintah Indonesia mengeluarkan PP Nomor 71/2014 tentang perlindungan ekosistem gambut. Ke depan, diharapkan aktivitas restorasi yang ada di kawasan gambut dapat menggunakan landscape based approach.

 

SUMMARY

  1. Tata kelola hutan adalah bagian penting dalam pembangunan berkelanjutan. Rizky Haryanto memaparkan catatan praktik yang menjelaskan tata kelola perhutanan sosial di Beringin Tinggi, Jambi sebagai contoh pengendalian laju kehilangan tutupan hutan (forest cover loss). Penghidupan masyarakat Beringin Tinggi secara umum berbasis pertanian, namun masyarakat cenderung menggunakan area dekat pemukiman (area penggunaan lain) dan tidak membuka hutan baru. Jika dilakukan pembukaan hutan, telah disepakati oleh masyarakat untuk dibatasi pada area bekas konsesi yang telah terdegradasi, bukan pada kawasan hutan lindung. Di desa tersebut juga ada kelompok pengelola hutan desa yang melaksanakan patroli untuk mengawasi perambahan dan pembukaan hutan, didukung oleh sumber daya desa dan elemen masyarakat. 
  2. Masyarakat memiliki nilai adat dan proses musyawarah yang menjadi kunci praktik baik dalam pengelolaan hutan. Terdapat  sanksi berbasis adat untuk pembukaan areal hutan yang melebihi standar yang ditetapkan oleh peraturan desa. Zonasi pemanfaatan dan lindung hutan desa juga ditetapkan berdasarkan inisiatif musyawarah masyarakat. Di samping itu pendamping lapangan berperan membantu pengelolaan perhutanan sosial dengan membantu perolehan izin, perumusan peraturan desa, dan fasilitasi penataan tapal batas hutan antar desa. Namun ada beberapa tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan perhutanan sosial. Masih ada persepsi di masyarakat bahwa meningkatkan taraf hidup dengan pemanfaatan sumber non-kayu dari hutan desa masih sulit. Jika masyarakat akhirnya berpaling pada sumber kayu, maka kelestarian hutan dapat terancam. Akses informasi dan kapasitas dalam kemampuan inovasi ekonomi hutan masih terbatas sehingga masyarakat tidak memiliki banyak alternatif sumber penghidupan yang berkelanjutan. Hal ini menunjukkan bahwa sumber penghidupan alternatif bagi masyarakat sangat penting, terutama di area-area dimana pemanfaatan sumber daya hutan masih terbatas kontribusinya bagi ekonomi masyarakat. Ke depan, dibutuhkan peran berbagai pihak dalam peningkatan kapasitas dasar yang memperhatikan prinsip kelestarian hutan dan sumber daya alam, serta proses transfer pengetahuan dan pemberdayaan untuk mendorong peningkatan ekonomi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
  3. Selain perhutanan sosial, tata kelola lahan gambut juga menjadi isu penting dalam pembangunan berkelanjutan. Rahmah Devi Hapsari membahas tentang tata kelola manajemen risiko lahan gambut di Sumatera Selatan dengan melakukan penilaian terhadap aspek-aspek tata kelola restorasi lahan. 
  4. Kebakaran lahan gambut yang sering terjadi di Indonesia membuat manajemen risiko menjadi krusial. Pada tahun 2016, pemerintah telah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) sebagai upaya pengelolaan risiko lahan gambut, namun dalam pelaksanaannya masih banyak tantangan yang menyebabkan belum terintegrasinya perencanaan restorasi dan implementasi dalam satu kesatuan lanskap hidrologis gambut. Beberapa hal menjadi kunci kerentanan dalam pengelolaan lahan gambut antara lain:
    • Upaya restorasi lahan masih terfragmentasi, penilaian dan manajemen risiko dilakukan di tingkat proyek sehingga implementasinya cenderung inkonsisten.
    • Izin bisnis untuk pemegang konsesi serta adanya aktivitas pembakaran yang disengaja di wilayah gambut menyebabkan kerentanan yang semakin buruk.
    • Belum ada pemahaman yang komprehensif terkait manajemen gambut yang berkelanjutan dan belum ada regulasi yang mendukung mengakibatkan kurangnya pembiayaan dan kemauan politik pemerintah lokal untuk memperluas proyek restorasi. 
    • Implementasi regulasi masih belum signifikan menekan aktivitas industri sawit dan hutan tanaman industri.
  5. Perubahan terkait tata kelola risiko mulai terlihat pada tahun 2014 ketika pemerintah Indonesia mengeluarkan PP Nomor 71/2014 tentang perlindungan ekosistem gambut. PP tersebut menyebabkan perubahan signifikan dengan penambahan kebijakan untuk melakukan evaluasi dan audit terhadap izin penggunaan lahan gambut. Komunikasi antar institusi dan kualitas perencanaan yang lebih baik serta implementasi restorasi yang lebih holistik telah memperbaiki kondisi tata kelola lahan gambut yang bermasalah selama ini. Ke depan diharapkan berbagai aktivitas restorasi yang ada di kawasan gambut dapat dilakukan dengan landscape based approach. Hal ini perlu didukung koordinasi berbagai institusi baik di tingkat nasional maupun regional.
Download slides (Rahmah Devi Hapsari)
Download slides (Rizky Januar)