FKP hosted by Program KOMPAK with Nurman Siagian (Program KOMPAK), Nufliyanti (Gerakan Kudu Sekolah, Kabupaten Pekalongan), U. Reku Raya Kedamaki (Universitas Nusa Cendana). Tuesday, 23 March 2021.

 

KEY POINTS:

  1. Implementasi penanganan anak tidak sekolah (ATS) di Indonesia masih belum optimal. Berdasarkan data Susenas, jumlah ATS hanya berkurang sebesar 8.5% antara tahun 2017 (4,7 Juta ATS) dan 2019 (4,3 Juta ATS). Dari segi kebijakan, belum tersedianya strategi penanggulangan putus sekolah dan strategi pengawasan melanjutkan (transisi SD ke SMP) menyebabkan anak putus sekolah menjadi kelompok marginal yang sulit ditangani.
  2. Setelah pendampingan penanganan anak tidak sekolah di 4 pemerintah kabupaten, tata kelola ATS telah mengalami beberapa capaian perbaikan: adanya peraturan-peraturan daerah untuk tata kelola ATS, peningkatan anggaran untuk pendataan, bantuan langsung untuk meringankan beban orang tua, perbaikan kelembagaan lintas sektor, serta sistem pendataan yang lebih sistematis. Ke depan, ketersediaan roadmap menjadi penting agar inovasi lebih cepat dan terarah

 

SUMMARY

  1. Berdasarkan data Susenas, jumlah ATS hanya berkurang sebesar 8.5% antara tahun 2017 (4,7 Juta ATS) dan 2019 (4,3 Juta ATS) sehingga dapat dikatakan bahwa penanganan anak tidak sekolah (ATS) di Indonesia masih belum optimal. Ada cukup banyak tantangan, antara lain: referensi data yang dapat menjadi dasar perencanaan penanganan ATS masih sangat minim; adanya keragaman konteks lokal (kondisi sosial budaya, ekonomi daerah, jenis kelamin, dan status disabilitas) yg belum dapat diakomodasi dengan baik (misalnya persepsi masyarakat bahwa anak bisa sukses tanpa sekolah); dan belum tersedianya strategi penanggulangan putus sekolah dan strategi pengawasan transisi SD ke SMP yang komprehensif dalam kebijakan daerah. 
  2. Terdapat 4 pemerintah kabupaten dengan penanganan anak tidak sekolah yang mendapat pendampingan dari Program KOMPAK, yaitu Kabupaten Brebes dan, Kabupaten Pekalongan di Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Lombok Utara di Provinsi NTB, dan Kabupaten Pangkajene Kepulauan di Provinsi Sulawesi Selatan. Secara umum di 4 kabupaten tersebut inovasi lokal sudah dikembangkan terlebih dahulu oleh pemerintah daerah sebelum ada pendampingan. Metode pendampingan yang dilakukan KOMPAK menyesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan dari daerah. Ada beberapa hal yang bisa diangkat dari kebijakan di daerah tersebut, sebagai berikut:
    • Gerakan Kembali Bersekolah (GKB) di Brebes mendorong anak putus sekolah sekolah mendapat layanan pendidikan melalui sekolah, pondok pesantren, dan PKBM. 
    • Sapu Bersih Drop Out (SABER DO) di Lombok Utara mendorong pendataan ATS oleh aparatur kecamatan secara elektronik, kecamatan menjadi pusat layanan.
    • Gerakan Kembali Upayakan Dukungan Untuk (KUDU) Sekolah di Pekalongan mengembangkan kerjasama seluruh stakeholders dalam mengatasi masalah, yaitu antara lain pemerintah daerah, organisasi masyarakat, organisasi kepemudaan, akademisi, serta sektor swasta. 
    • Layanan pendidikan Kelas Perahu di Pangkep, Sulawesi Selatan menggunakan perahu sebagai tempat belajar dengan sistem belajar mandiri dan dibantu oleh orang tua atau keluarga lainnya. Guru diberi insentif untuk mendampingi anak yang melaut.
  3. Ada beberapa benang merah dari pengalaman dalam penanganan ATS di 4 kabupaten tersebut. Pertama, tata kelola terkait ATS telah menjadi prioritas pembangunan di sektor pendidikan di 4 kabupaten tersebut. Setelah pendampingan, tata kelola ATS telah mengalami beberapa capaian perbaikan, antara lain adanya peraturan-peraturan daerah untuk tata kelola ATS, peningkatan anggaran untuk pendataan, bantuan langsung untuk meringankan beban orang tua, perbaikan kelembagaan lintas sektor, serta sistem pendataan yang lebih sistematis. Kedua, mulai muncul upaya untuk lebih inklusif misalnya dengan menyasar kelompok rentan, pelibatan aktor dari kelompok perempuan dan penyandang disabilitas, serta pendataan yang mengikutsertakan jenis kelamin dan status disabilitas. Ketiga, ketersediaan roadmap menjadi penting agar inovasi lebih cepat dan terarah. Terakhir, Bappeda menjadi aktor paling penting dalam koordinasi penanganan ATS. 
  4. Nufliyanti dari Gerakan KUDU Sekolah dari Kabupaten Pekalongan menjelaskan bagaimana dampak program tersebut terhadap penanganan ATS di Pekalongan. Gerakan tersebut mendorong penguatan regulasi dan anggaran dari pemerintah daerah dan stakeholders. Gerakan tersebut menghasilkan pendanaan dari pemerintah daerah, desa, masyarakat, dan perguruan tinggi. Selain regulasi dan anggaran, penguatan pendataan sangat penting dalam upaya mengembalikan ATS. Pendampingan bagi ATS juga penting sebab ATS rentan untuk kembali tidak bersekolah. Gerakan tersebut juga mendorong Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Bupati (Perbup) yang mengatur perlindungan hak penyandang disabilitas dan penunjukkan sekolah inklusif. Hasilnya, jumlah ATS yang dikembalikan melalui KUDU Sekolah ada sebanyak 389 anak (100% dari target tahun 2019) dan pada tahun 2020, ATS yang dikembalikan ada 540 anak dari target 680 anak. Jumlah yang kurang dari target pada tahun 2020 ini disebabkan pandemi COVID-19a yang menyulitkan petugas untuk berkunjung ke lokasi ATS. Selain itu, di Pekalongan da anggapan bahwa sekolah tidak menjamin peningkatan taraf hidup masih cukup kuat. Masyarakat sering kali sudah memiliki warisan perusahaan batik yang tidak mensyaratkan pendidikan untuk dikelola, sehingga motivasi sekolah bagi ATS dan orang tua masih rendah.
  5. Beberapa dampak setelah intervensi KUDU Sekolah antara lain meningkatnya penggunaan teknologi dalam pendataan ATS berbasis website dan android, dukungan anggaran yang semakin spesifik (beasiswa, pendataan, dan inklusi), pembentukan regulasi yang spesifik untuk penanganan ATS, penguatan kelembagaan yang terstruktur dengan tim gugus Tim KUDU Sekolah  (di tingkat Kabupaten, 19 kecamatan, dan 285 desa/ kelurahan), dan pendampingan ATS yang sudah bersekolah (mencakup 22 SD dan 20 SMP di Pekalongan).
Download slides (Nurman Siagian)
Download slides (Nufliyanti)