FKP dengan tuan rumah PSHK dengan narasumber Atnike Nova Sigiro (Ketua Komnas HAM), Herlambang P. Wiratraman (Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada), Muhammad Isnur (Ketua Umum YLBHI), dan Rizky Argama (Peneliti PSHK). Rabu, 21 Desember 2022.

KEY POINTS:

  1. Kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia masih menghadapi banyak hambatan, termasuk pelanggaran hak dan kebebasan sipil, ancaman, intimidasi, kriminalisasi, dan pembatasan hak yang dilakukan oleh negara maupun aktor non-negara. Selain itu, banyak tersangka tidak mendapatkan bantuan hukum dalam menghadapi kasus yang disangkakan padanya, dan banyak dari mereka mengalami penyiksaan ketika diproses atas kasus dihadapi.
  2. Menyempitnya kebebasan berpendapat juga terjadi pada ruang akademik, yang diakibatkan antara lain terbatasnya otonomi universitas dan intervensi politik negara/menteri untuk mengangkat rektor, terbatasnya kerangka hukum untuk melindungi kebebasan akademik serta lemahnya tradisi kebebasan akademik. Rekomendasi yang diberikan untuk mendorong kebebasan berekspresi adalah mencabut peraturan pembatasan hak, merevisi beberapa undang-undang, dan memperbaiki produk legislasi untuk melindungi pembela HAM.

 

SUMMARY

  1. Muhammad Isnur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, menjelaskan bahwa Kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia terus menghadapi banyak hambatan. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat terjadi 351 kasus pelanggaran hak dan kebebasan sipil di seluruh wilayah Indonesia pada tahun 2020. 
    • Mayoritas kasus pelanggaran tersebut berkaitan dengan hak berekspresi dan menyatakan pendapat di muka umum. Jenis pelanggaran hak berekspresi dan berpendapat yang terjadi meliputi pelanggaran hak berekspresi secara lisan, hak untuk menyampaikan pendapat melalui unjuk rasa, hak berekspresi secara digital, hak mencari dan menyampaikan informasi, serta pelanggaran terhadap data pribadi. 
    • Beberapa di antara kasus pelanggaran terjadi di ranah pendidikan, antara lain ancaman pemutusan beasiswa bagi mahasiswa yang ikut demonstrasi, edaran dari dinas pendidikan yang melarang demo, intimidasi oleh sekolah atau kampus, dan kekerasan yang menyasar pelajar dan mahasiswa. Ada juga penghalang aksi seperti pencegatan di berbagai tempat, pemanggilan organisasi ke polisi, penangkapan disertai kekerasan, serta pemaksaan pernyataan pendemo agar tidak akan aksi lagi.
    • Kriminalisasi seperti melalui ITE, perubahan aturan pemberitahuan demo menjadi ijin, framing dan fitnah terhadap pendemo sebagai perusuh, dan pasukan pelaku kekerasan yang tidak diketahui identitasnya juga menjadi masalah. Meskipun UU Ormas melarang ormas bertindak seperti penegak hukum, tetapi polisi membiarkan ormas yang melakukan penangkapan dan intimidasi. Bahkan, orang tua mahasiswa dan pelajar yang ditangkap juga diintimidasi oleh polisi dengan menggunakan SKCK sebagai ancaman agar orang tidak berdemonstrasi.
    • Aktor negara seperti kepolisian menjadi pelaku pelanggaran hak utama, dengan keterlibatan militer yang juga terlihat. Meskipun aktor non-negara hanya memiliki andil kecil dalam pelanggaran hak yang terjadi, terdapat beberapa institusi pendidikan dan ormas yang turut terlibat dalam kasus pelanggaran hak tersebut.
    • Minimnya bantuan hukum bagi tersangka, dan bila ada bantuan hukum diberikan kepada tersangka, kerap terjadi ancaman terhadap kantor-kantor dan pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Riset LBH Jakarta tahun menunjukkan banyak tersangka yang tidak mendapatkan penasihat hukum, dan tersangka seringkali mengalami penyiksaan saat proses (penyiksaan fisik, psikis maupun seksual).
  2. Herlambang Wiratraman, Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, menjelaskan bahwa menyempitnya kebebasan berpendapat juga terjadi pada ruang akademik. Hal ini diakibatkan antara lain terbatasnya otonomi universitas dan intervensi politik negara/menteri untuk mengangkat rektor. Selain itu, terbatasnya kerangka hukum untuk melindungi kebebasan akademik serta lemahnya tradisi kebebasan akademik juga berkontribusi pada menurunnya kebebasan berpendapat. Negara dapat melakukan pengendalian melalui aturan penelitian, publikasi dan kelembagaannya sebagai kebijakan supresif untuk membungkam kritik, menjalankan kooptasi dan hegemoni negara dalam mendisiplinkan akademisi dan peneliti. Pembungkaman dengan narasi anti sains tampak menguat, termasuk dalam melemahkan pendiseminasian hasil-hasil kajian akademik yang bertentangan dengan kepentingan negara. 
  3. Rizky Argama, peneliti PSHK, memberikan beberapa rekomendasi untuk mendorong kebebasan berekspresi dan terjaganya ruang publik di Indonesia. Untuk memperkuat kebebasan berkumpul dan berserikat, dibutuhkan pencabutan peraturan-peraturan pembatasan hak dan revisi beberapa undang-undang terkait kemerdekaan menyampaikan pendapat. Untuk kebebasan berpendapat dan berekspresi, diperlukan perubahan rumusan pasal dalam beberapa undang-undang seperti RKUHP, UU ITE, dan UU Pornografi. Selain itu, UU PNPS terkait penodaan agama harus dicabut dan rumusan serta batasan dalam pasal-pasal terkait kebebasan akademik perlu diperjelas. Untuk melindungi pembela HAM, produk legislasi yang memberikan ancaman perlu diperbaiki dan perangkat teknis yang dapat memastikan perlindungan juga perlu dilengkapi.
Download slides