FKP dengan tuan rumah PSHK dengan narasumber Hadar Nafis Gumay (NETGRIT), Feri Amsari (PUSaKO), Khoirunnisa Nur Agustyati (Perludem), dan Muhammad Nur Ramadhan (PSHK). Selasa, 13 Desember 2022.

KEY POINTS:

  1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2022 tentang perubahan UU Pemilu No.7 Tahun 2017 dinilai tidak cukup mengakomodir perbaikan-perbaikan yang diperlukan bagi penyelenggaraan Pemilu 2024. Beberapa perbaikan yang diperlukan antara lain pemenuhan hak memilih untuk kelompok rentan masih kurang dan eterwakilan perempuan dalam pencalonan calon anggota legislatif dan rekrutmen penyelenggara pemilu yang masih rendah. Transparansi laporan dana kampanye dan pembiayaan pemilu juga masih minim karena informasi yang tersedia sulit diakses oleh masyarakat.
  2. Tantangan yang dihadapi oleh penyelenggara pemilu juga masih perlu dibenahi, seperti beban kerja petugas yang berat di TPS yang berpotensi mengulangi tragedi banyaknya korban penyelenggara di tingkat bawah. Transparansi data pemilu dari penyelenggara pemilu dinilai dapat membantu meredam ketegangan politik selama proses pemilu dan membangun kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemilu yang adil dan jujur. 

 

SUMMARY

  1. Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No.1 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak dianggap cukup untuk mengakomodir banyak perbaikan yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan Pemilu 2024. Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Muhammad Nur Ramadhan, mencatat beberapa hal hal yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan Pemilu tahun 2024, antara lain pemenuhan hak memilih untuk kelompok masyarakat penyandang disabilitas, masyarakat hukum adat, pekerja pabrik, dan buruh migran. Kelompok rentan ini masih mengalami kesulitan untuk melaksanakan hak memilih. Selain itu, keterwakilan perempuan dalam pencalonan calon anggota legislatif dan rekrutmen penyelenggara pemilu juga harus ditingkatkan.
  2. Transparansi laporan dana kampanye dan pembiayaan pemilu juga perlu diperbaiki karena informasi yang tersedia sulit diakses oleh masyarakat terkait siapa saja yang memberikan dana kampanye terhadap para calon dan partai politik. Pengaturan kampanye di media sosial juga harus diatur dengan lebih baik karena pengaturan yang ada saat ini sangat minim. Pengaturan presidential threshold juga perlu diformulasikan kembali dalam sistem pemilu serentak. 
  3. Hadar Nafis Gumay dari NETGRIT menjelaskan bahwa banyak perbaikan yang perlu dilakukan namun terkendala akibat keputusan pemerintah dan DPR untuk tidak lagi membahas perubahan undang-undang Pemilu yang saat ini digunakan. Beberapa masalah yang disoroti antara lain terkait dengan beban kerja yang berat bagi para petugas di tingkat tempat pemungutan suara atau kelompok pemungutan suara atau KPPS. Salah satu beban terbesar adalah jumlah surat suara yang banyak. Meskipun telah ada gagasan untuk menata dan menyederhanakan jumlah surat suara, namun sulit untuk dilakukan karena perubahan undang-undang yang tidak dilanjutkan atau dihentikan. Hal ini menimbulkan potensi besar untuk terulangnya tragedi korban dari penyelenggara di tingkat bawah.
  4. Khoirunnisa Nur Agustyati, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menyatakan bahwa keterbukaan data pemilu dari pihak penyelenggara dapat menurunkan tensi politik yang sedang tinggi-tingginya di tengah penyelenggaraan beberapa tahapan pemilu. Dia mengatakan bahwa kecurigaan sebagian pihak mengenai terjadinya kecurangan pada pemilu dapat diminimalisir dengan adanya keterbukaan data kepemiluan dari pihak penyelenggara, khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Selain itu, para penyelenggara pemilu yang bekerja secara transparan dapat meningkatkan partisipasi publik dalam berbagai pelaksanaan tahapan pemilu karena masyarakat memiliki hak untuk mengetahui tahapan pemilu sudah sampai mana. Penyelenggara pemilu yang bekerja secara transparan dan membuka data-datanya dapat membangun kepercayaan publik terkait penyelenggaraan pemilu yang jujur, adil, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ninis juga menambahkan bahwa jika tidak ada keterbukaan data, masyarakat dapat menjadi tidak percaya dan acuh terhadap penyelenggaraan pemilu.
  5. Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), membahas tentang empat hal yang perlu diperhatikan dalam konteks pemilu di Indonesia, yaitu masalah penyelenggara, peserta (partai politik), pemilih, dan penegak hukum. Penyelenggara merupakan faktor yang paling penting dalam pemilu dan perlu dijaga integritasnya, karena pemilu yang baik sulit dicapai tanpa penyelenggara yang benar. Penting untuk menjaga peserta atau partai politik dengan aturan yang tegas dan penyelenggara yang berintegritas, sehingga tidak terjadi penyimpangan aturan main dalam proses pemilu. Kemudian, penting juga untuk menjaga prinsip-prinsip sebagai pemilih, yaitu dengan memilih berdasarkan kepentingan bersama dan bukan atas dasar sektarian atau pilihan yang terlalu mengedepankan kepentingan individu. Terakhir, perlu perbaikan untuk penegakan hukum dalam pemilu di Indonesia yang sulit mendapat kepercayaan dari masyarakat. Proses penegakan hukum dalam pemilu seringkali menjadi bertele-tele dan tidak transparan, sehingga banyak masyarakat yang meragukan keberadaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penegak hukum dalam pemilu.
Download slides