FKP dengan Lembaga Demografi FEB UI dengan pembicara Joko Adianto (Lembaga Demografi  dan Fakultas Teknik, Universitas Indonesia). Rabu, 19 Agustus 2020.

 

Poin utama:

  1. Rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) dibangun untuk menyelesaikan masalah hunian di Jakarta. Namun Rusunawa memiliki masalah utama yaitu banyak tunggakan sewa, sehingga biaya pengelolaan akhirnya dibebankan pada APBD. Di sisi lain, tingkat kepuasan penghuni Rusunawa secara umum menurun akibat terbatasnya ruang dan keterasingan sosial. Penghuni kemudian beradaptasi dengan melakukan housing adjustment untuk ruang interaksi dan ekonomi, meskipun hal ini sebenarnya dilarang. 
  2. Solusi yang ditawarkan terhadap masalah ini adalah memungkinkan Rusunawa sebagai ruang produksi dengan mengubah peraturan dan rancangan Rusunawa. Lalu diusulkan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) atau Koperasi sebagai alternatif pengelolaan Rusunawa yang dapat memanfaatkan aset Rusunawa untuk meningkatkan pelayanan publik tanpa mengejar keuntungan sehingga ketergantungan terhadap APBD bisa berkurang.

Ringkasan

  1. Kepemilikan rumah di DKI Jakarta adalah salah satu yang paling rendah di Indonesia dan penyediaan hunian oleh pemerintah berada di bawah target pembangunan hunian sehingga masyarakat akhirnya membangun sendiri rumahnya. Hal ini berdampak pada adanya 445 kampung di bawah standar yang diklasifikasikan sebagai rukun warga (RW) kumuh di DKI Jakarta pada tahun 2018. 
  2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman mengamanatkan bahwa setiap orang berhak atas tempat tinggal dan lingkungan hidup yang baik dan sehat dan pemerintah bertanggung jawab untuk menyediakan perumahan yang layak dan terjangkau. Pemerintah mengusulkan rumah susun sederhana milik (Rusunami) dan Rusunawa untuk menjawab mandat tersebut. 
  3. Dalam penyediaan Rusunami terdapat masalah, antara lain, harga unit yang kian naik sehingga tidak dapat dijangkau masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Meskipun sudah ada rumah subsidi dari pemerintah, persyaratan yang sulit bagi buruh/pekerja informal menghalangi MBR untuk dapat memperoleh hunian tersebut. Dalam 10 tahun terakhir, jumlah rumah subsidi menurun namun jumlah dana subsidi meningkat. Hal ini menunjukkan subsidi pemerintah masih tidak efektif. 
  4. Solusi hunian berikutnya adalah Rusunawa yang ditujukan bagi masyarakat yang hanya mampu untuk menyewa. Pada tahun 2016, jumlah unit Rusunawa di Jakarta sekitar 10 persen dari jumlah orang yang belum memiliki rumah. Namun Rusunawa juga memiliki banyak masalah, utamanya ada pada tunggakan sewa. Pada Januari 2017 tunggakan sebesar Rp 26 miliar, kemudian Juni 2017 menjadi Rp 32 miliar dan terus bertambah. Tunggakan ini mengakibatkan beban APBD terus meningkat. Masalah tunggakan juga berpengaruh terhadap tingkat pendapatan penghuni. 
  5. Pada bulan Januari hingga Februari tahun 2020, sebuah survei dilakukan oleh Lembaga Demografi terhadap 2.375 penghuni Rusunawa untuk mengukur persepsi tingkat kepuasan dan besar pendapatan mereka. Penghuni yang berpartisipasi dalam survei sejumlah 1773 responden dalam 554 rumah tangga. Survei dilakukan melalui wawancara terstruktur untuk mengukur persepsi kepuasan sebelum dan sesudah tinggal di Rusunawa. 
  6. Berdasarkan survey tersebut, peneliti menemukan beberapa hal, antara lain pertama, tingkat kepuasan terhadap hunian secara umum menurun. Dari segi norma ruang, penghuni menurun kepuasannya sebab mereka tidak dapat menumbuh-kembangkan unit ketika ada tambahan anggota keluarga atau perubahan fungsi (menjadikan unit hunian sebagai ruang kerja). Penghuni juga merasa terasing secara hubungan sosial. Kedua, responden mengalami penurunan pendapatan per bulan rata-rata setelah relokasi ke Rusunawa; beberapa responden bahkan  tidak dapat melanjutkan usaha yang dilakukan sebelumnya di kampung. 
  7. Dengan kesulitan di atas, mengapa penghuni Rusunawa bertahan tinggal di sana? Kembali ke kampung bukan pilihan sebab tidak ada lagi tempat yang tersedia. Akhirnya penghuni beradaptasi dengan melakukan housing adjustment untuk ruang interaksi dan ekonomi. Sebagai contoh, penghuni memanfaatkan ruang yang ada (unit hunian maupun koridor Rusunawa) untuk berjualan dan bersosialisasi. Penggunaan koridor dan hunian sebenarnya dilarang oleh undang-undang, namun mau tidak mau penghuni akan melakukan hal tersebut untuk menciptakan atmosfer hidup yang menyerupai situasi di kampung dan membentuk jaringan ekonomi untuk bertahan hidup.
  8. Dalam kondisi ini, apa solusi yang bisa diambil? Solusi pertama yang ditawarkan adalah untuk memungkinkan Rusunawa sebagai ruang produksi, terutama bagi MBR dari sektor informal. Peraturan dan rancangan Rusunawa perlu diubah untuk bisa mengakomodasi kegiatan ekonomi dan sosial. Kedua, dibutuhkan suatu institusi sebagai pengelola Rusunawa alternatif karena pengelolaan oleh badan usaha milik daerah (BUMD) dinilai tidak efektif. BUMD memiliki kepentingan untuk mendapatkan keuntungan untuk membantu kas negara (profit oriented) sehingga sulit untuk menyediakan subsidi silang terhadap MBR. Alternatif institusi pengelola yang diusulkan adalah Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) dan koperasi karena menurut peneliti dengan bentuk BLUD aset Rusunawa dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pelayanan publik tanpa mengejar keuntungan, sehingga ketergantungan terhadap APBD bisa menurun. Selain itu, perlu juga kemampuan kolaborasi lintas sektor perlu diperkuat agar tidak hanya dapat menyelesaikan masalah hunian saja namun dapat mendukung upaya meningkatkan kesejahteraan penghuni Rusunawa secara umum.

Download slides (Joko Adianto)