FKP dengan Lembaga Demografi FEB UI dengan pembicara Dwini Handayani dan Resa Surya Utama (Lembaga Demografi  dan Badan Pusat Statistik, Universitas Indonesia). Thursday, 27 Agustus 2020.

 

Poin utama:

  1. Alasan utama anak bekerja adalah kemiskinan. Penelitian kali ini mencoba menggunakan kerawanan pangan sebagai ukuran kemiskinan untuk memprediksi partisipasi anak dalam bekerja. Kerawanan pangan sendiri merupakan manifestasi psikologis akan kekhawatiran rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pangannya. Persepsi ini dianggap penting dan dapat lebih detail mengukur tingkat kemiskinan.
  2. Kerawanan pangan berpengaruh meningkatkan partisipasi anak dalam bekerja dengan besaran pengaruh yang lalu lebih besar dari hasil estimasi awal. Hal ini disebabkan persepsi rawan pangan saat ini yang telah terkoreksi oleh pengalaman rawan pangan di masa lalu. Orang-orang yang memiliki persepsi rawan pangan saat ini adalah mereka yang benar-benar mengalami kerawanan pangan yang parah sehingga kemungkinan mempekerjakan anak akan semakin tinggi. Untuk dapat mengurangi jumlah pekerja anak, pemerintah perlu melakukan, antara lain, pemetaan rumah tangga yang mengalami/berpotensi rawan pangan dan memberikan bantuan non-tunai yang dapat membantu memperbaiki kondisi pangan mereka.

Ringkasan

  1. Keterlibatan anak dalam kegiatan produktif dalam keluarga umumnya disebabkan antara lain keharusan untuk membantu menambah pendapatan keluarga, bentuk altruisme dan wujud bakti terhadap orang tua, serta pengamalan nilai agama dan budaya. Anak yang bekerja akan mengalami kerugian dari sisi kesehatan, pendidikan, dan waktu luang. Proses tumbuh kembang yang terganggu akibat bekerja akan menyebabkan kualitas modal manusia di masa depan menurun.
  2. Secara global, tahun 2016 terdapat 152 juta pekerja anak di dunia. Namun jumlah tersebut dianggap masih di bawah angka sebenarnya, sebab angka tersebut didapatkan dari survei yang tidak terkhusus melihat pekerja anak. Dalam konteks indonesia, data jumlah pekerja anak di Indonesia turun dari sekitar 4 juta anak pada tahun 2009 menjadi 3 juta pada tahun 2017. Banyak dari mereka berada pada sektor pertanian dan pekerjaan kasar dan sebagian besar bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Meskipun total jumlah pekerja anak menurun, jumlah proporsi dari mereka yang hanya bekerja tanpa sekolah meningkat. Artinya, anak yang kehilangan investasi modal manusia untuk masa depan semakin banyak.
  3. Alasan utama munculnya pekerja anak adalah kemiskinan. Penelitian yang dilakukan kali ini mencoba menggunakan ukuran kerawanan pangan dalam memprediksi kesulitan rumah tangga dalam pemenuhan kebutuhan pokok. Kerawanan pangan sendiri merupakan manifestasi psikologis akan kekhawatiran rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pangannya. Persepsi ini dianggap penting dan dapat lebih detail mengukur tingkat kemiskinan.
  4. Menggunakan data mikro survei sosial ekonomi nasional (Susenas) tahun 2018, penelitian menunjukkan bahwa sekitar 27 persen anak di Indonesia mengalami rawan pangan. Proporsi anak yang mengalami rawan pangan semakin besar di wilayah timur Indonesia. Proporsi anak yang bekerja lebih besar pada laki-laki (6%) dibandingkan perempuan (3%), dan lebih besar di desa (6%) daripada di kota (3%). Pekerja anak yang tidak tinggal bersama ibu jumlahnya lebih besar dibandingkan anak yang tinggal bersama ibu. Proporsi pekerja anak terbesar ada pada mereka yang memiliki kepala rumah tangga berpendidikan rendah, bekerja di sektor pertanian, dan bekerja dengan status informal.
  5. Hasil estimasi sederhana menunjukkan bahwa kondisi rawan pangan yang lebih parah akan meningkatkan partisipasi anak dalam bekerja. Peneliti kemudian melakukan verifikasi terhadap hasil tersebut dengan menggunakan kondisi rawan pangan di masa lalu sebagai variabel instrumen untuk menghilangkan bias persepsi rawan pangan yang ada saat ini. Yang menarik dari model ini adalah ternyata kondisi rawan pangan di masa lalu berhubungan negatif dengan kondisi rawan pangan saat ini. Hal ini disebabkan orang-orang yang masa lalunya pernah mengalami musibah rawan pangan, ketika diwawancarai saat ini akan cenderung menjawab tidak rawan pangan sebab kondisi saat ini tidak separah kondisi di masa lalu. Setelah model estimasi memperhitungkan kondisi masa lalu tersebut, hasil menunjukkan kerawanan pangan berpengaruh meningkatkan partisipasi anak dalam bekerja. Temuan ini sejalan dengan estimasi awal, namun besaran (koefisien) pengaruhnya lebih besar. Pengaruh yang lebih besar disebabkan persepsi yang telah terkoreksi oleh pengalaman rawan pangan di masa lalu, sehingga orang-orang yang memiliki persepsi rawan pangan saat ini adalah mereka yang benar-benar mengalami kerawanan pangan yang parah sehingga kemungkinan mempekerjakan anak semakin tinggi.
  6. Beberapa rekomendasi kebijakan dalam mengurangi pekerja anak di antaranya pertama, pemetaan rumah tangga yang mengalami/berpotensi rawan pangan, di samping rumah tangga miskin. Hal ini perlu dilakukan sebab rumah tangga yang berada di atas garis kemiskinan ternyata masih ada yang mengalami rawan pangan. Rumah tangga tersebut perlu diberikan bantuan non-tunai yang dapat membantu memperbaiki kondisi pangan mereka. Kedua, pemerintah juga perlu mengurangi kekhawatiran akan kekurangan pangan melalui ketersediaan dan keterjangkauan harga pangan. Ketiga, perlu perluasan wajib belajar 12 tahun dan pemberian insentif agar rumah tangga tidak memutuskan untuk mengeluarkan anak dari sekolah demi bekerja.

 

Download slides (Handayani and Utama)