FKP dengan tuan rumah Center for Indonesian Policy Studies dengan narasumber Arumdriya Murwani (Center for Indonesian Policy Studies/CIPS), Pungkas Bahjuri Ali (BAPPENAS) dan Kautsar Fahreza Tandipanga (World Food Programme/WFP). Kamis, 22 Juli 2021.

 

KEY POINTS:

  1. Indonesia menempati peringkat 65 dari 113 dalam Global Food Security Index. Dari segi indikator kualitas dan keamanan pangan, Indonesia berada di peringkat 89, sedangkan dari ketersediaan dan jangkauan pangan berada di peringkat 34 dan 55. Perbedaan ranking ini mengindikasikan bahwa sebenarnya sumber pangan tersedia, namun kurang berkualitas. 
  2. Di masa pandemi, menurunnya penghasilan membuat keterjangkauan pangan ikut menurun. Sekitar 23% rumah tangga mengalami kerawanan pangan sedang dan berat. Terdapat 70 kabupaten dan 4 kota yang masuk dalam kategori rawan pangan. Sebagian besar dari daerah ini berada di wilayah timur Indonesia. Rumah tangga yang mengalami kerawanan pangan sedang atau berat paling banyak dialami oleh rumah tangga buruh tani (petani tanpa lahan), sedangkan prevalensi kekurangan gizi paling tinggi pada rumah tangga tani (petani yang memiliki lahan). Di tengah kerentanan pangan ini, food loss dan food waste juga masih tinggi. 

 

SUMMARY

  1. Arumdriya Murwani dari CIPS menjelaskan tentang temuan awal mengenai nutrisi di masa COVID-19. Indonesia menempati peringkat 65 dari 113 dalam Global Food Security Index. Dari segi indikator kualitas dan keamanan pangan, Indonesia berada di peringkat 89, sedangkan dari ketersediaan dan jangkauan pangan berada di peringkat 34 dan 55. Perbedaan ranking ini mengindikasikan bahwa sebenarnya sumber pangan tersedia, namun kurang berkualitas. Selain itu, proporsi balita yang mengalami stunting juga masih tinggi di angka 31%, dan malnutrisi 18%. Persentase Ibu hamil yang mengalami anemia juga tinggi yaitu sekitar 49% pada tahun 2018, hal ini dapat beresiko pada peningkatan kemungkinan malnutrisi anak.
  2. Harga pangan di tahun 2020 mengalami kenaikan di awal tahun akibat terganggunya perdagangan di tengah pandemi. Menjelang akhir tahun, harga mulai kembali stabil. Meskipun demikian, di periode tersebut daya beli masyarakat mengalami penurunan. Harga pangan di level normal masih tergolong tinggi, dengan rata-rata harga beras domestik 1.5 kali lebih tinggi dibandingkan harga internasional, sehingga semakin sulit untuk dijangkau. Padahal, pengeluaran masyarakat sebagian besar adalah untuk pangan. 
  3. Dalam menghadapi masalah ini sudah ada beberapa bantuan sosial yang diberikan pemerintah selama pandemi, namun masih terkendala dalam penyalurannya akibat Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang tidak termutakhirkan dan tingginya harga pangan yang membuat bantuan tidak efektif. Salah satu program bantuan pangan adalah Kartu SEMBAKO. Program ini selain menyediakan pangan juga menargetkan gizi yang seimbang untuk penerima manfaat. Namun, efektivitas program tersebut sangat dipengaruhi oleh harga pangan. Ketika terjadi kenaikan harga, pola konsumsi penerima bantuan mengalami berubah menjadi cenderung memilih makanan yang mengenyangkan, sehingga mengorbankan kualitas makanan. Penerima manfaat cenderung memprioritaskan pembelian beras dan mie instan yang mengandung karbohidrat tinggi, dibandingkan yang kaya protein.
  4. Berikutnya Pungkas Ali dari Bappenas menjelaskan tentang intervensi pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan pencegahan gizi buruk. Masalah gizi sudah ada jauh sebelum pandemi, dan semakin buruk dengan kondisi yang ada saat ini. Keterjangkauan pangan kembali disebut sebagai hambatan utama, sedangkan ketersediaan pangan bukan merupakan hambatan utama untuk mendapat gizi lebih baik. 
  5. Di masa pandemi, menurunnya penghasilan membuat keterjangkauan pangan ikut menurun. Sekitar 23% rumah tangga mengalami kerawanan pangan sedang dan berat, dan sebesar 86% dari total rumah tangga memerlukan mekanisme bertahan dalam menghadapi pandemi, baik dengan menggunakan tabungan, pinjaman informal, dan penjualan aset. Di tengah kerentanan pangan ini, food loss dan food waste juga masih tinggi, baik saat diproduksi, disimpan, didistribusi, atau setelah dimakan.
  6. Pemerintah mengambil langkah dengan penguatan kebijakan sistem pangan. Perbaikan yang dilakukan adalah dengan meningkatkan produktivitas, kemudian tata kelola, kualitas konsumsi, dan keamanan. Selain itu, pemerintah melakukan perluasan jaring pengaman sosial melalui PKH, penyesuaian protokol pelayanan gizi, dan bantuan tunai langsung dengan sasaran yang lebih luas. Pemerintah juga melakukan edukasi dan konseling gizi melalui daring dan media lainnya untuk ibu hamil atau menyusui, balita, dan remaja. 
  7. Selanjutnya, Kautsar Tandipanga dari WFP Indonesia memaparkan tentang dampak COVID-19 terhadap ketahanan pangan di Indonesia. Berdasarkan Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) tahun 2019, masih ada 70 kabupaten dan 4 kota yang masuk dalam kategori rawan pangan. Sebagian besar dari daerah ini berada di wilayah timur Indonesia, menunjukkan ketimpangan ketahanan pangan yang tinggi.
  8. Pandemi COVID-19 menarik mundur kemajuan pemberantasan kemiskinan dan kerentanan pangan di Indonesia. Kemiskinan kembali ke angka 10 persen dan prevalence of undernourishment juga meningkat dari 7,6% ke 8,6%. Rumah tangga yang mengalami kerawanan pangan sedang atau berat paling banyak dialami oleh rumah tangga buruh tani (petani tanpa lahan), sedangkan prevalensi kekurangan gizi paling tinggi pada rumah tangga tani (petani yang memiliki lahan). 
  9. Meskipun ketersediaan pangan bukan merupakan masalah utama di Indonesia, namun apabila tidak dikelola dengan baik bisa menjadi masalah. COVID-19 yang menyebar di wilayah rural dapat mengancam produksi pangan, sehingga transmisi urban-rural perlu mendapat perhatian khusus. Selain itu, monitoring pada perubahan iklim ekstrim dan stok produksi perlu untuk terus dilakukan. Harga pangan dunia juga cenderung tinggi sehingga pemerintah perlu bersiap apabila harus melakukan intervensi pasar.

 

 

Download slides (Arumdriya Murwani)