FKP dengan tuan rumah Center for Indonesian Policy Studies dengan narasumber Umbu Reku Raya  (Universitas Nusa Cendana), Kadir Ruslan (Center for Indonesian Policy Studies/CIPS), dan Adi Setiyanto (Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian/PSEKP, Kementerian Pertanian) . Kamis, 15 Juli 2021.

KEY POINTS:

  1. Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan ekspansi lahan untuk kebutuhan pembangunan non-pertanian, terdapat tantangan dalam pemenuhan kebutuhan pangan domestik dan peningkatan daya saing pertanian. Ketimpangan produktivitas antar wilayah di Indonesia adalah salah satu faktor yang mengakibatkan rendahnya produktivitas secara umur. Sebagai contoh, produktivitas tanaman padi dan jagung di luar Jawa lebih rendah masing-masing sekitar 23% dan 13% dibanding di Jawa. 
  2. Pulau Sumba di NTT merupakan salah satu daerah yang produktivitas usaha tani tanaman pangan dan hortikulturanya lebih rendah dibandingkan rata-rata produktivitas Indonesia. Salah satu akar masalah produktivitas yang rendah di Sumba adalah kesenjangan kepemilikan lahan yang diakibatkan kepemilikan yang berbasis kasta. Sistem kasta yang mengikat tenaga kerja dari kasta bawah dalam sistem pengupahan ekstraktif perlu digantikan dengan sistem yang berkeadilan yang memberi insentif bagi petani penggarap dari kasta bawah (yang tidak memiliki lahan dan hunian – landless dan homeless) untuk meningkatkan produktivitas lahan.
  3. Salah satu upaya program pemerintah yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas pertanian adalah Program Upaya Khusus (UPSUS). UPSUS perlu dirancang untuk mengatasi masalah sesuai dengan target daerah. Pembelajaran dari implementasi program ini di Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa UPSUS perlu lebih fokus pada target produktivitas yang lebih tinggi, dengan membantu menyediakan sistem mekanisasi yang sesuai kebutuhan. 

 

SUMMARY

  1. Kadir Ruslan dari Center for Policy Studies (CIPS) memaparkan makalah terkait produktivitas tanaman pangan dan hortikultura. Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan ekspansi lahan untuk kebutuhan pembangunan non-pertanian, terdapat tantangan dalam pemenuhan kebutuhan pangan domestik dan peningkatan daya saing pertanian. Produktivitas padi, kedelai, dan bawang merah sebagai contoh cenderung landai dalam beberapa tahun terakhir. Ini diperburuk dengan data yang tidak akurat dan metode yang tidak seragam terkait level produktivitas komoditas pertanian di Indonesia.
  2. Salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas adalah jenis lahan. Dari hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS), produktivitas tertinggi ada pada lahan padi yang teririgasi. Namun, produktivitas pada lahan yang tidak teririgasi juga masih cukup tinggi, misal pada pertanian dengan tadah hujan. Kelembagaan petani juga penting, kelompok tani berperan besar dalam produktivitas. Kelompok tani menjadi wadah petani mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, dan menjadi sarana anggota untuk mengakses bantuan pemerintah seperti pupuk dan benih. Sayangnya, masih ada proporsi besar dari petani Indonesia yang belum tergabung dalam kelompok tani. 
  3. Terdapat juga ketimpangan produktivitas antar wilayah di Indonesia. Untuk tanaman padi dan jagung, produktivitas di luar Jawa lebih rendah masing-masing sekitar 23% dan 13% dibanding di Jawa. Peningkatan produktivitas lahan dan petani di luar Jawa harus menjadi fokus pemerintah dengan mengimplementasikan teknologi dan ilmu pertanian. Apabila produktivitas pertanian di luar Jawa bisa meningkat hingga minimal setingkat dengan Jawa, peningkatan produktivitas secara nasional dapat meningkat signifikan. Analisa yg dilakukan CIPS menunjukkan mekanisasi dalam kegiatan budidaya berdampak pada peningkatan produktivitas sebesar 16 persen. Selain itu, akses terhadap internet dan tingkat pendidikan petani berdampak positif terhadap produktivitas.
  4. Umbu Reku Raya dari Universitas Nusa Cendana memaparkan tentang mekanisasi pertanian hortikultura dan inklusi sosial untuk pengentasan kemiskinan sistemik di Pulau Sumba. Produktivitas usaha tani tanaman pangan dan hortikultura di NTT/Sumba lebih rendah dibandingkan rata-rata produktivitas Indonesia, ini berimplikasi pada pendapatan yang rendah. Selain  itu, mayoritas petani Sumba menanam padi dan jagung bermekanisasi rendah. Hal ini berdampak pada laba yang rendah, atau bahkan tidak berlaba secara ekonomi jika biaya tenaga kerja diperhitungkan. Petani juga mengeluhkan harga jual yang terlalu rendah, sedangkan memang padi dan jagung harganya didorong oleh pemerintah untuk dapat dijangkau seluruh masyarakat. 
  5. Salah satu akar masalah produktivitas yang rendah di Sumba adalah kesenjangan kepemilikan lahan yang diakibatkan kepemilikan yang berbasis kasta. Selain itu, mekanisasi yang rendah di Sumba disebabkan investasi yang rendah akibat tabungan yang sebagian besar digunakan untuk keperluan adat. Kualitas benih juga rendah akibat akses pasar yang sulit dan pilihan komoditas yang mengikuti tradisi. Pertanian di sumba juga memiliki koneksi yang lemah pada pasar output karena masalah infrastruktur, harga, atau kualitas. Institusi sosial dan kebijakan publik yang ada juga tidak memberikan insentif yang tepat untuk investasi pada SDM dan fisik.
  6. Masalah utama di Sumba adalah sistem produksi ekstraktif dengan sistem kasta. Struktur kasta di Sumba terdiri dari tiga tingkat yaitu Maramba (bangsawan), Tau Kabihu (commoners), dan Tau Ata (budak). Mayoritas masyarakat kasta terendah masih tinggal dengan tuannya, sehingga mereka tidak memiliki lahan dan tidak memiliki rumah (landless and homeless). Kasta tersebut menyumbang 31% dari total populasi penduduk. Kasta paling atas memiliki lahan, modal, dan memiliki tenaga kerja dari kasta paling bawah. Berdasarkan Survei Perkampungan Adat tahun 2015, 89% dari sawah, kebun, padang, dan penggembalaan dikuasai oleh Kasta Tinggi, dengan populasi sebesar 37.5%. Sedangkan Kasta Rendah (31.8% dari penduduk) hanya menguasai 3.83% lahan pertanian.
  7. Sistem kasta yang mengikat tenaga kerja dari kasta bawah dalam sistem pengupahan ekstraktif perlu digantikan dengan sistem yang berkeadilan yang memberi insentif bagi petani penggarap dari kasta bawah untuk termotivasi bekerja produktif. Investasi pada mekanisasi pertanian dan ketersediaan perlu diperkuat. Pilihan komoditas perlu bergeser dari padi dan jagung kuning yang diatur oleh kebijakan harga dari UU (Kedaulatan) Pangan, ke komoditas hortikultura yang lebih bebas dari intervensi harga dan memiliki peluang lebih besar untuk peningkatan produktivitas dan pendapatan sehingga dapat membantu mengurangi kemiskinan.
  8. Adi Setiyanto dari Litbang Pertanian Kementerian Pertanian menjelaskan tentang evaluasi program UPSUS (Upaya Khusus) di Jawa Barat, Indonesia. Evaluasi ini difokuskan di Jawa Barat karena Jawa Barat merupakan daerah penyangga Jakarta, sentra produksi pangan ketiga di Indonesia, dan berpotensi mengekspor jenis beras tertentu. UPSUS ditujukan untuk peningkatan produksi dengan peningkatan luas area tanam dan peningkatan produktivitas. Ada tiga komoditas dalam UPSUS, yaitu padi, jagung, dan kedelai. Evaluasi ini fokus pada padi karena memiliki porsi terbesar dalam alokasi anggaran. Program UPSUS dianggap sukses apabila dapat meningkatkan indeks penanaman sebesar 0,5 kali setiap tahun dan peningkatan produktivitas sebesar 0,3 ton per hektar. 
  9. Pada penerimaan program UPSUS 2016-2018, Jawa Barat menerima alokasi yang lebih besar dibanding provinsi lainnya. Namun demikian, ada beberapa hal yang mengganggu efektivitas program. UPSUS juga menargetkan peningkatan cropping intensity (indeks pertanaman), sedangkan Jawa Barat sudah memiliki indeks pertanaman lebih besar dari dua (lebih dari dua kali penanaman dalam setahun) yang mana sudah lebih tinggi dari nasional. Hal ini menyebabkan peningkatan lebih jauh untuk indeks pertanaman sulit dilakukan di Jawa Barat karena meningkatkannya akan beresiko memunculkan hama dan penyakit pada tanaman. Pada tahun 2017, setelah penanaman massal sebanyak 3 kali dalam setahun, terjadi ledakan hama dan penyakit di banyak lokasi di Jawa Barat, sehingga produktivitasnya mengalami penurunan.
  10. UPSUS perlu dirancang untuk mengatasi masalah sesuai dengan target daerah. Berdasarkan alokasi di Jawa Barat, 3 kabupaten yang diteliti (Subang, Indramayu, dan Karawang) memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Subang perlu mendapatkan alokasi besar untuk irigasi dan jaringan pengairan. Ini akan menyebabkan peningkatan area tanam, area panen, dan produktivitas di Subang. Indramayu sudah memiliki lahan yang luas, namun mekanisasi masih kurang, sehingga UPSUS fokus pada alokasi untuk mekanisasi. Implementasi UPSUS juga terhambat oleh terbatasnya jumlah petani yang mengetahui dengan baik program, sosialisasi program masih sangat kurang. 
  11. Ke depan, pemerintah perlu menjaga areal tanam padi dan lebih fokus pada target produktivitas yang lebih tinggi, dengan membantu menyediakan mekanisasi yang sesuai. Selain itu, pemerintah perlu mendorong kelompok usahatani yang memiliki efisiensi biaya dan daya saing tertinggi sebagai contoh untuk petani yang kurang efisien dan kurang kompetitif.  Program juga perlu lebih konsultatif dan partisipatif terhadap semua stakeholder.
Download slides (Umbu Reku Raya)