FKP dengan tuan rumah Universitas Pattimura dengan narasumber Agustinus Kastanya (Universitas Pattimura) dan Wardis Girsang (Universitas Pattimura). Kamis, 18 Februari 2021.

KEY POINTS:

  1. Pulau-pulau kecil memiliki karakteristik sosial-ekonomi, biofisik dan ekologi yang spesifik, sehingga modernisasi pembangunan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang bersifat eksploitatif akan rentan mengancam keberlanjutan lingkungan wilayah pulau kecil. Kerusakan lingkungan dan perubahan iklim secara global berdampak pada kondisi ekologi dan mata pencaharian masyarakat di pulau-pulau kecil Maluku.
  2. Sistem dusun bisa menjadi pilihan konsep pembangunan berkelanjutan di pulau-pulau kecil. Dalam sistem dusun, lahan diatur dalam warisan sehingga terhindar dari fragmentasi lahan. Ada juga sistem sasi yang mengatur apa yang dipanen oleh masyarakat pada waktu tertentu. Pembangunan pulau-pulau kecil perlu kembali pada pertanian, perkebunan, dan perikanan dengan sistem yang dibangun berdasarkan kearifan lokal. Pulau-pulau kecil perlu dipandang sebagai satu kesatuan dari hutan sampai pesisir dan pengelolaannya perlu mempertimbangkan pendekatan multi-lanskap.

SUMMARY

  1. Maluku merupakan wilayah kepulauan yang memiliki 1.340 pulau, terdiri dari lima pulau besar utama dan pulau-pulau kecil. Sumber daya utama di Maluku adalah perikanan (30% produksi ikan nasional berasal dari Maluku), pertanian, dan perkebunan (cengkeh, pala, kelapa, dan sagu). Namun tingkat kemiskinan dan masalah gizi di Maluku masih menjadi isu utama, dan situasi tersebut saat ini semakin diperburuk dengan adanya pandemi COVID-19.
  2. Pulau-pulau kecil memiliki karakteristik sosial-ekonomi, biofisik dan ekologi yang spesifik, sehingga modernisasi pembangunan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang bersifat eksploitatif akan rentan mengancam keberlanjutan lingkungan wilayah pulau kecil. 
    • Daerah aliran sungai (DAS) di pulau-pulau kecil sempit dan pendek, hal ini sangat berpengaruh terhadap siklus air dan perubahan ekologi di darat maupun di laut pada pulau tersebut. 
    • Dalam konteks biodiversitas, pulau-pulau kecil di maluku memiliki banyak hotspot keragaman hayati, ada sekitar 50 titik yang bersifat endemis. Sampai saat ini fakta tersebut tidak diperhitungkan dalam rancangan pembangunan.  Bila wilayah tersebut tidak dikelola, terutama di area yang tidak dilindungi, besar kemungkinan biodiversitas tersebut mengalami kerusakan. Hal ini perlu mendapat respon yang cepat, sebelum terjadi banyak kepunahan.
    • Dari sisi karakteristik sosial budaya, di Maluku terdapat hukum adat masyarakat atas pengelolaan sumber daya baik di darat maupun di pesisir. Setelah dibuka akses investasi besar, sering terjadi konflik antara investor dengan masyarakat adat (sebagai contoh di pulau Buru). Ke depan hal ini perlu diperhatikan, terutama penjaminan hak adat masyarakat melalui peraturan daerah. 
    • Pulau-pulau kecil dapat diidentifikasi sebagai multi-landscape, yang terdiri di antaranya gugus pulau, laut pulau, pulau, daerah aliran sungai, dan sistem lahan. Dengan keadaan multi-landscape ini pulau-pulau kecil menjadi sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Multi-lanskap ini perlu dikelola dalam kerangka ekonomi, ekologi, dan sosial. 
  3. Kerusakan lingkungan dan perubahan iklim secara global berdampak pada kondisi ekologi dan mata pencaharian masyarakat di pulau-pulau kecil Maluku.
    • Berdasarkan proyeksi iklim provinsi Maluku untuk tahun 2045, kenaikan suhu di wilayah Maluku bisa mencapai 0,5-1,5 derajat celcius.
    • Rata-rata tinggi gelombang terus naik, diperkirakan hingga tahun 2040 perairan Maluku akan naik 1 sampai 2,5 meter dari kondisi sekarang; hal ini dapat mempengaruhi jalur pelayaran dan perikanan.
    • Suhu permukaan laut semakin meningkat, sehingga mempengaruhi pertumbuhan klorofil dan berpotensi mengganggu produksi perikanan dan menyebabkan pemutihan terumbu karang di lokasi-lokasi wisata. 
    • Pola curah hujan juga diprediksi akan mengalami perubahan (beberapa daerah akan menjadi kering atau basah) sehingga dapat berdampak pada hasil pertanian dan perkebunan.
  4. Pola pembangunan eksploitatif yang berlangsung selama ini harus dihentikan dan perlu dicari jalan keluar untuk pulih secara berkelanjutan. Untuk menghadapi tantangan perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang sudah disebutkan, United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) artikel 3.4 sudah menetapkan pembangunan rendah karbon dalam rancangan pembangunan di Indonesia. Indonesia sudah mengintegrasikan mandat tersebut dalam RPJMN 2020-2024. Pembangunan rendah karbon sendiri bertujuan menghasilkan pertumbuhan ekonomi rendah emisi untuk menanggulangi dampak perubahan iklim, perbaikan kualitas lingkungan, dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan ini berusaha meminimalisir trade-off antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Untuk memaksimalkan hasil dari rencana ini, perlu ada kajian akademis yang berkelanjutan tentang pulau-pulau kecil di Maluku.
  5. Sistem dusun bisa menjadi pilihan konsep pembangunan berkelanjutan di pulau-pulau kecil. Sistem dusun yang sering disebut sebagai traditional agroforestry diperluas dengan turut mencakup hutan, terumbu karang, dan aktivitas off-farm. Dalam sistem dusun, lahan tidak diperjual-belikan, tetapi diatur dalam warisan. Tanah dusun harus diwariskan antar generasi, sehingga tidak bisa dijual secara masif. Hal ini menguntungkan dari sisi kepemilikan tanah, misalnya dibandingkan tanah transmigrasi dimana terjadi fragmentasi lahan yang kerap menuai masalah. Selain aturan soal lahan, ada juga sistem sasi. Sasi adalah aturan tradisional tentang apa yang harus dipanen oleh masyarakat baik yang ada di laut maupun di darat (sasi ditentukan oleh gereja, negeri, atau adat) pada waktu tertentu. Sistem ini perlu direvitalisasi untuk mengelola manajemen sumber daya alam yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.  
  6. Mata pencaharian orang-orang di pedesaan di Maluku bukan hanya perikanan tetapi juga pertanian, perkebunan, dan non-budidaya (off-farm). Permasalahannya, kegiatan pertanian dan perikanan cenderung tidak berkembang, antara lain sebab anak-anak petani dan nelayan dengan pendidikan yang lebih baik tidak berminat untuk melanjutkan pekerjaan tersebut. Akibatnya tidak ada entrepreneurs yang dapat mengelola sumber daya dengan baik. Untuk memperbaiki pendapatan masyarakat, sektor-sektor tersebut perlu menjadi basis pembangunan di pulau-pulau kecil ini dan terus didorong oleh pemerintah agar dapat maju.
  7. Pembangunan pulau-pulau kecil perlu kembali pada pertanian, perkebunan, dan perikanan dengan sistem yang dibangun berdasarkan kearifan lokal. Pulau-pulau kecil perlu dipandang sebagai satu kesatuan dari hutan sampai pesisir dan pengelolaannya perlu mempertimbangkan pendekatan multi-lanskap. Kelembagaan nilai petani dan nelayan perlu dibangun berbasis nilai sosial dusun dan sasi.

 

Download slides (Wardis Girsang)
Download slides (Agustinus Kastanya)