FKP dengan tuan rumah Article 33 Indonesia dengan Syofia Agustini (Article 33 Indonesia), Agus Pratiwi (Article 33 Indonesia), dan Hamsir (Pemerintah Kabupaten Enrekang). Kamis, 9 September, 2021.

KEY POINTS:

  1. Meski sebenarnya pergerakan perhutanan sosial mulai ada di akhir tahun 1990an, namun baru secara resmi dibentuk pada 2007 dan hingga tahun 2014 telah hampir 500 ribu hektar luasan hutan dikelola oleh masyarakat. Pada 2016 Pemerintah Indonesia meningkatkan luaran lahan hutan yg dapat dikelola masyarakat menjadi 1,7 juta hektar (dari sekitar 94 juta hektar luas hutan di Indonesia). Salah satu contoh keberhasilan Program Perhutanan Sosial adalah di Kabupaten Bantaeng (Provinsi Sulawesi Selatan), khususnya di Hutan Desa Campaga dan Hutan Desa Labbo.  
  2. Struktur sosial ditemukan mempengaruhi peran perempuan dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan hutan. Studi di Kabupaten Enrekang (Sulawesi Selatan) menunjukkan perempuan yang dekat dengan pimpinan adat lebih memiliki akses keterwakilan dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan hutan. Selain itu, perempuan yang tidak memiliki lahan tidak berpartisipasi karena merasa tidak memiliki kepentingan. Perempuan yang tidak memiliki lahan di hutan adat sebenarnya berperan besar dalam pengelolaan hutan melalui sistem kerja upahan. Namun upah yang diterima masih lebih rendah dari laki-laki yang sama-sama tak memiliki lahan.

 

SUMMARY

  1. Program Perhutanan Sosial dibentuk dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menurunkan tingkat deforestasi melalui skema Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA), dan Kemitraan Kehutanan (KK). Meski sebenarnya Pergerakan perhutanan sosial mulai ada di akhir tahun 1990an, namun baru secara resmi dibentuk pada 2007 dan hingga tahun 2014 telah hampir 500 ribu hektar luasan hutan dikelola oleh masyarakat. Pada 2016 Pemerintah Indonesia meningkatkan luaran lahan hutan yg dapat dikelola masyarakat menjadi 1,7 juta hektar (dari sekitar 94 juta hektar luas hutan di Indonesia). Latar belakang Program Perhutanan Sosial dapat dibaca lebih mendetil lewat dua publikasi Article 33, yaitu Dampak Program Perhutanan Sosial terhadap kesejahteraan masyarakat desa dan laju deforestasi dan Melestarikan hutan, menyejahterakan masyarakat. Kedua publikasi ini dapat diunduh dari situs Article 33. Dalam webinar ini, Article 33 berbagi pembelajaran dari keterlibatannya dalam pelaksanaan Program Perhutanan Sosial di berbagai wilayah di Indonesia
  2. Syofia Agustini, peneliti dari Article 33, menjelaskan tentang lessons learned dari implementasi  Program Perhutanan Sosial di Kabupaten Bantaeng (Sulawesi Selatan) dan Kabupaten Ende (Nusa Tenggara Timur). Di hutan Campaga, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, sudah ada kesadaran masyarakat untuk tidak merusak hutan, karena hutan menjadi sumber penghidupan masyarakat. Sistem kepercayaan juga turut mengerem niat warga untuk merusak hutan, masyarakat percaya jika hutan dirusak maka akan terjadi bencana. Ada beberapa bentuk pengembangan ekonomi lokal berbasis hutan sosial: resourcebased economy, agroforestry, dan perdagangan. Untuk tipe pengembangan yang pertama, di hutan Campaga dibuat ekowisata pemandian Erbol dan air terjun Simoko. Wisata ini membuka sumber peluang pendapatan baru bagi masyarakat di sekitar hutan. Untuk agroforestry, budidaya lebah madu, pengambilan buah pangi, kemiri, pakis, dan bunga-bunga menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat.  Terakhir dari perdagangan, usaha ekonomi warga di sekitar ekowisata berkembang dengan mulai menjual madu, air kemasan, hingga kopi. 
  3. Di hutan desa Labbo, Kabupaten Bantaeng, badan usaha milik desa (BUMDES) memberikan hak pengelolaan kepada warga desa Labbo. Syaratnya masyarakat yang diberi hak adalah mereka yang tidak mampu atau tidak memiliki lahan. BUMDES juga ikut memfasilitasi antara pengolah kopi untuk mendapat akses terhadap modal dan pembeli, serta peningkatan kualitas kopi yang diproduksi. 
  4. Selanjutnya, Agus Pratiwi dari Article 33 membahas tentang peran perempuan dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan adat. Sebuah studi dilaksanakan oleh Article 33 untuk menemukan faktor penghambat bagi perempuan dalam berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait pelestarian dan pemanfaatan hutan dalam masyarakat adat di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan (Hutan Adat Marena dan Hutan Adat Orong) dan di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara timur (Komunitas Adat Saga) dari tahun 2018 hingga 2020. Studi ini menggunakan Gender Framework (Carrard, 2013) yang melihat relasi gender tidak hanya dari perspektif laki-laki atau komunitas, tapi juga dari perspektif perempuan itu sendiri. Studi ini mengidentifikasi beberapa isu utama antara lain bahwa selain peran domestik, struktur sosial juga mempengaruhi peran perempuan dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan hutan. Beberapa temuan studi ini antara lain sbb:
    • Perempuan yang dekat dengan pimpinan adat lebih memiliki akses keterwakilan dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan hutan;
    • Perempuan yang tidak memiliki lahan di hutan adat sebenarnya berperan besar dalam pengelolaan hutan melalui sistem kerja upahan. Namun upah yang diterima masih lebih rendah dari laki-laki yang sama-sama tak memiliki lahan. Pembagian kerja pun masih lekat dengan pekerjaan-pekerjaan domestik perempuan yang berupah rendah.
  5. Dengan adanya masalah tersebut, Kabupaten Enrekang sudah mulai membuat kebijakan afirmatif melalui kebijakan keanggotaan minimal satu orang perempuan di BPD dan BUMDes. Di masyarakat adat Marena, pemberdayaan peran perempuan diperluas untuk mengambil posisi penting dalam pengambilan keputusan. Di masyarakat adat Saga, BUMDes menjadi media bagi perempuan untuk mempraktikkan peran pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan. Dengan adanya pengenalan dan pemanfaatan program-program UU Desa yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan, kesadaran masyarakat adat terhadap isu-isu dasar perempuan seperti kesetaraan upah, kesetaraan hak atas pendidikan, dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan ternyata telah mengalami peningkatan.

 

Harian Kompas mengangkat acara ini dalam sebuah artikel berjudul Dukungan pemerintah daerah sukseskan perhutanan sosial.

Download slides (Article 33)