FKP dengan tuan rumah Universitas Nusa Cendara dan CREDOS Institute dengan narasumber Fitriana Herarti (ChildFund International Indonesia) dan Eben Ezer Sembiring (Wahana Visi Indonesia Zona NTT). Kamis, 21 Januari 2021.

 

KEY POINTS:

  1. Pandemi COVID-19 yang saat ini melanda dunia memaksa berbagai organisasi menata ulang rencana mereka, tidak terkecuali non-government organisations (NGO) di NTT. Dua NGO di NTT berbagi bagaimana mereka menyikapi situasi saat ini: Wahana Visi Indonesia dan ChildFund International Indonesia. Kedua NGO ini memiliki fokus yang hampir sama yaitu pada perlindungan dan pengembangan anak. 
  2. Beberapa tantangan yang dialami NGO adalah pembatasan pertemuan langsung yang menyulitkan kerja kemanusiaan, dan beberapa donor yang mengurangi bantuan karena berkurangnya pendapatan dan mengalihkan dana untuk respon terhadap krisis pandemi. Harus ada komitmen untuk beradaptasi dengan kondisi pandemi dan perlu ada alokasi anggaran dan pembangunan sarana untuk mendukung adaptasi kebiasaan baru. Hal ini hanya mungkin terjadi dengan sinergi yang kuat antar pemangku kebijakan.

 

SUMMARY

  1. ChildFund International Indonesia punya misi menciptakan dunia dimana anak menyadari haknya dan bisa mencapai potensi optimal mereka. ChildFund International Indonesia ada di 116 desa di 11 kabupaten di NTT, mendampingi 8.164 anak usia 0-24 tahun. Beberapa isu strategis di NTT yang menjadi fokus ChildFund antara lain banyaknya anak tidak mampu yang terhambat melanjutkan pendidikan, tingginya jumlah pengangguran, tingginya kasus gizi buruk dan stunting, tingginya jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak, kurangnya minat wirausaha, dan meningkatnya resiko bencana akibat kesiapsiagaan bencana yang belum optimal.
  2. ChildFund Indonesia berfokus pada penguatan kapasitas anak sesuai kelompok usia ditempuh lewat berbagai program:
    • Program PAUD ramah anak berfokus pada perlindungan anak, keamanan dan keselamatan (kesiapsiagaan bencana dan keamanan alat bermain), pengasuhan responsif (memampukan orang tua untuk tanggap pada kebutuhan anak), pendidikan, serta kesehatan dan gizi. PAUD ramah anak memegang prinsip kesetaraan gender dan pendidikan yang inklusif. Melalui hasil survei, pandangan guru tentang gender dan inklusivitas mulai terbuka, dimana guru tidak lagi membedakan mainan untuk anak laki-laki atau perempuan, serta tidak memperlakukan anak secara kasar. 
    • Untuk anak usia sekolah, program yang diberikan adalah pendidikan kecakapan hidup dan literasi keuangan. Fokusnya ada pada eksplorasi diri dan pemahaman atas hak anak. Program ini juga menguatkan interaksi orang tua dan anak dengan pengasuhan positif, anak-anak yang mengikuti program ini mengakui adanya perbaikan perlakuan orang tua yang semula kasar menjadi lebih baik. 
    • Terakhir adalah program untuk anak usia muda. Berdasarkan survei, masalah mendasar kaum muda adalah ketidaksiapan untuk dilatih dan bekerja. Program difokuskan untuk mendorong minat menjadi wirausaha muda, salah satunya dengan meminjamkan lahan-lahan untuk dijadikan perkebunan. ChildFund mendorong pelibatan masyarakat dan aparatur desa untuk mendukung usaha orang muda melalui dana desa dan swadaya masyarakat.
  3. Fokus kegiatan Wahana Visi Indonesia (WVI) memfasilitasi perubahan yang berkesinambungan bagi anak dan keluarga miskin. Sejak awal pandemi bulan April tahun 2020, program WVI diadaptasi menjadi program responsif tanggap darurat dan usaha pemulihan dari pandemi
    • Fokus pertama WVI adalah kemandirian desa di bidang kesehatan khususnya untuk anak balita. Beberapa program seperti monitoring Posyandu sudah menggunakan sarana digital untuk mengupdate data di dinas kesehatan, sehingga kontak langsung bisa diminimalisir. WVI menyediakan buku saku dan sosialisasi pencegahan COVID-19 serta pengadaan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga kesehatan, kader, masyarakat untuk memenuhi kebutuhan di desa.
    • Di sektor pendidikan, WVI fokus pada kemampuan literasi anak usia sekolah dasar. Untuk mendukung pembelajaran di masa pandemi, WVI memberikan dukungan psikososial secara virtual untuk anak yang dibantu oleh guru serta mendistribusikan buku-buku dan video pembelajaran. Untuk anak-anak yang tidak memiliki akses internet, guru honorer diberikan bantuan tunai untuk melakukan pengajaran kunjungan rumah bagi anak-anak tersebut. 
    • Dari aspek perlindungan anak, program terfokus untuk melakukan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan, penelantaran, perilaku salah, dan eksploitasi anak. Di masa pandemi, risiko tekanan sosial dan kekerasan pada anak meningkat. Jumlah kasus di NTT pada tahun 2020 ada 3.087 kasus kekerasan terhadap anak dimana 1848 adalah kasus kekerasan seksual, 852 kekerasan fisik, 228 penelantaran, dan 768 kekerasan psikis. Dari survei WVI di daerah pendampingan, 61.5% responden anak mengalami kekerasan verbal dan 11.3% mengalami kekerasan fisik selama masa pandemi. Oleh karena itu, perlindungan anak sangat dibutuhkan, dan WVI mengupayakan hal ini dengan, antara lain, memberikan dukungan kepada orang tua melalui modul pengasuhan yang memasukkan konteks pandemi. 
  4. Beberapa tantangan yang dialami NGO dalam pelaksanaan program diantaranya adalah pembatasan pertemuan langsung yang menyulitkan kerja kemanusiaan, dan beberapa donor yang mengurangi bantuan karena berkurangnya pendapatan dan mengalihkan dana untuk respon terhadap krisis pandemi. Tingkat kesejahteraan yang menurun dan roda pembangunan yang melambat membuat kemajuan yang terbangun terancam mengalami kemunduran. Kapasitas penggunaan teknologi informasi masih sangat terbatas bagi masyarakat maupun pemerintah daerah. Infrastruktur penunjang adaptasi kebiasaan baru (air bersih, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi) juga masih sangat terbatas. 
  5. Rekomendasi ke depan, diperlukan pemahaman yang benar tentang COVID-19 dan kesehatan dan keselamatan harus menjadi prioritas. Selain itu, harus ada komitmen untuk berubah dan beradaptasi dengan kondisi yang baru. Produktivitas harus dapat didorong kembali dengan cara yang aman dan sehat. Harus ada alokasi anggaran dan pembangunan sarana untuk mendukung adaptasi kebiasaan baru. Hal ini hanya mungkin terjadi dengan sinergi yang kuat antar pemangku kebijakan.
Download slides (Fitriana Herarti – ChildFund)