FKP dengan pembicara Profesor (emeritus) Emil Salim (Universitas Indonesia), Profesor Armida Alisjahbana (Universitas Padjadjaran dan UN ESCAP), dan Isna Marifa (Konsultan) dipandu oleh Profesor Budy Resosudarmo (ANU Indonesia Project). Kamis, 14 Januari 2021.

 

KEY POINTS:

  1. Pembangunan ekonomi semata is necessary but not sufficient, ia membutuhkan pembangunan lingkungan dan pembangunan sosial. Penekanan pada pertumbuhan output ekonomi menghasilkan dampak negatif berupa pencemaran dan kerusakan sehingga terjadi proses deteriorasi lingkungan. Masyarakat miskin paling banyak menjadi korban dibandingkan yang kaya, ketimpangan menjadi semakin tinggi dan tidak bisa menopang keberlanjutan pembangunan. 
  2. Internalisasi konsep pembangunan berkelanjutan dalam 10 tahun terakhir seolah hilang. Governance menjadi inti persoalan dimana pemerintah tidak terlalu berkomitmen terhadap pembangunan berkelanjutan. Dorongan membentuk usaha perbaikan lingkungan harus datang dari komitmen top decision maker, pemangku kebijakan tertinggi. Di samping komitmen pada lingkungan, penting komitmen kepada masyarakat miskin. harus ada komitmen pada proses jangka panjang, disiplin pada program. Garis pembangunan seharusnya tidak patah, harus ada kontinuitas. 

 

SUMMARY

  1. Pembangunan berkelanjutan adalah perubahan penting dari pembangunan konvensional yang melihat proses pembangunan sebagai keterkaitan antara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pembangunan ekonomi yang kita kenal sejak zaman Rostow (1960) selalu menekankan kenaikan pertumbuhan output ekonomi. Dalam perkembangannya, model ini pincang karena penekanan pada pertumbuhan output ekonomi itu menghasilkan dampak negatif berupa pencemaran dan kerusakan sehingga terjadi proses deteriorasi lingkungan. Contohnya adalah turunnya kualitas laut dan udara serta terganggunya habitat binatang. COVID-19 secara tidak langsung muncul akibat terganggunya habitat kelelawar. Pembangunan ekonomi mempengaruhi aspek lingkungan yang akhirnya merusak ekonomi itu kembali. 
  2. Selain lingkungan, aspek sosial dan manusia juga terdampak. Sebagai contoh COVID-19 mengakibatkan jutaan manusia meninggal dan kehilangan pendapatan. Masyarakat miskin paling banyak menjadi korban dibandingkan yang kaya, sehingga ketimpangan menjadi semakin tinggi dan tidak bisa menopang keberlanjutan pembangunan. Di Indonesia, COVID-19 juga terjadi persis dalam tahap awal bonus demografi, sumber daya manusia (SDM) usia produktif yang berkembang terhantam oleh krisis COVID-19. Akibat terganggunya proses belajar, semua tingkat pendidikan menderita pukulan, padahal Indonesia masih harus mengejar ketertinggalan. Maka penting bagi Indonesia untuk meningkatkan SDM at all cost, mengejar ketinggalan dari negara maju. Pembangunan ekonomi semata is necessary but not sufficient, ia membutuhkan pembangunan lingkungan dan pembangunan sosial. 
  3. Internalisasi konsep pembangunan berkelanjutan dalam 10 tahun terakhir seolah hilang. Governance (tata kelola pemerintahan) menjadi inti persoalan dimana pemerintah tidak terlalu berkomitmen terhadap pembangunan berkelanjutan. Undang-undang pertambangan mineral dan batubara tahun 2020 mengutamakan sumber daya tak terbarukan (non-renewable resources), sementara undang-undang lain mengutamakan investasi untuk eksploitasi sumber daya, bukan pengayaan sumber daya (resource enrichment). Ada kecenderungan pemerintah beralih sasarannya dan persoalan Sustainable Development Goals (SDGs) dikesampingkan. Arah pembangunan justru menuju pada non-renewable resources, eksploitasi, pembangunan pariwisata di daerah dengan ekosistem yang sensitif, dan mengekspor benur agar cepat menjadi keuntungan. Hal-hal tersebut adalah indikasi visi dari orientasi pembangunan yang tidak berkelanjutan. 
  4. Dengan indikasi bergesernya orientasi pembangunan Indonesia, komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan dipertanyakan. Indonesia sebagai bagian dari negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 2015 berkomitmen mengimplementasikan SDGs. Berdasarkan laporan perkembangan SDGs tahun 2020, mayoritas dari 17 goals di Indonesia kemajuannya berjalan lambat, tidak secepat yang diharapkan dengan target capaian di tahun 2030. Ada empat indikator yang memiliki perkembangan yang cukup baik: (1) poverty, (2) good health and well-being, (3) decent work and economic growth, dan (4) industry, innovation, and infrastructures. Namun ada 3 indikator yang mengalami kemunduran atau in reverse: (1) inequality, (2) life below water (fisheries, marine resources, etc), dan (3) peace, justice, and strong institution. Secara rata-rata, pencapaian SDGs di 34 negara di Asia Pasifik  memang juga berada di bawah kecepatan yang diharapkan. Ada 2 indikator yang secara umum mundur yaitu climate action dan life below water. Yang sangat lambat adalah sustainable cities, responsible consumption production, dan peace justice and strong institutions
  5. Mulai tahun 2021 hingga 2030 semua negara berkomitmen untuk mendukung decade of action. Karena adanya pandemi, yang pertama dilakukan adalah recovery, pemulihan yang lebih baik dan lebih inklusif (recover better together). Sehingga prioritas untuk jangka pendek dan menengah adalah mengurangi kesenjangan (SDM, pendidikan, kesehatan), akselerasi digitalisasi (pendidikan, e-commerce, pemerintahan), pemulihan hijau yang ramah lingkungan, dan terakhir good governance and strong institution
  6. Selain pemulihan yang lebih baik dan inklusif, ada juga prioritas untuk perubahan iklim. Semua negara harus memiliki nol emisi bersih pada tahun 2050 untuk dapat terhindar dari dampak perubahan iklim. Beberapa negara besar sudah berkomitmen, Tiongkok pada tahun 2060 dan Jepang tahun 2050. PBB masih menunggu perkembangan dari Indonesia, India, dan Vietnam. Pemulihan yang lebih baik dan inklusif serta prioritas pada perubahan iklim tersebut perlu dimasukkan dalam rencana pembangunan pemerintah.
  7. Agenda pembangunan berkelanjutan tersebut bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga pelaku ekonomi dan bisnis. Secara umum mayoritas pelaku ekonomi sudah mengerti pentingnya sustainable development, namun hanya sedikit yang menjalankan pembangunan berkelanjutan secara kontinyu, konsisten, dan menyeluruh. Dari sisi perusahaan, kapasitas dan alokasi dana untuk pengelolaan lingkungan di industri masih terbatas. Biaya lingkungan kerap dikorbankan ketika ada pengurangan anggaran, tak terkecuali di masa pandemi sekarang. Selain itu penegakan hukum oleh negara untuk pengelolaan lingkungan masih lemah dan belum menunjukkan perbaikan dari segi kapasitas maupun infrastruktur yang bersifat teknis, sehingga peraturan dan tujuan-tujuan SDGs tidak bisa terkejar. Masalah finansial masih menjadi kendala utama di berbagai level dari swasta hingga pemerintah. 
  8. Beberapa tahun terakhir sudah mulai banyak LSM dan perusahaan yang mulai memperhatikan aspek perubahan iklim, namun belum secara masif dilakukan. Sebagai contoh, implementasi adaptasi perubahan iklim dalam pembangunan infrastruktur masih terkendala. Ketika perusahaan membutuhkan, belum banyak konsultan/lembaga yang punya kualifikasi untuk menilai atau menggarap proyek infrastruktur yang memperhitungkan adaptasi perubahan iklim. Artinya SDM yang dibutuhkan untuk mendukung ketahanan iklim masih tertinggal, terutama di wilayah luar Jawa.
  9. Apa yang perlu dilakukan ke depan terkait pembangunan yang berkelanjutan? Jalan keluar untuk pembangunan berkelanjutan ke depan di tengah pandemi memerlukan perubahan institusional. Monopoli BUMN dalam pembangunan perlu dikurangi untuk mendorong inisiatif swasta. Sebagai contoh, Perusahaan Listrik Negara (PLN) perlu mengurangi monopoli untuk mendorong swasta menyediakan suplai listrik yang masih kurang. Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang merupakan BUMN dengan penerimaan keuntungan terbesar, perlu didorong untuk punya kewajiban sosial untuk mengembangkan dana-dana di daerah tertinggal. Kembali lagi kuncinya adalah governance. Pemerintah sedang membangun dalam masa abnormal, maka manajemen pemerintah juga tidak bisa business as usual. Pola monopoli dan orientasi profit perlu diubah menjadi gerakan ekonomi masyarakat dalam momentum ini, dan ini ada dalam wewenang presiden dan menteri BUMN. Masyarakat dan swasta perlu mendapat kebebasan untuk berpartisipasi, tidak melulu melalui BUMN.
  10. Dorongan membentuk usaha perbaikan lingkungan harus datang dari komitmen top decision maker, pemangku kebijakan tertinggi. Jika presiden punya komitmen terhadap lingkungan, maka pembangunan berkelanjutan dapat berjalan. Begitu pemimpin tidak menaruh minat pada lingkungan, maka lingkungan hanya jadi “embelan”. Masalahnya ada faktor politik yang masuk. Mengapa memilih politisi dalam kedudukan yang teknis? Bisakah kita harapkan ada kesamaan visi dalam tokoh teknokrat dan politik? Realitas  seperti ini yang perlu diperhitungkan.  Di samping komitmen pada lingkungan, penting komitmen kepada masyarakat miskin. Di sini perlu political movement, partai, masyarakat, dan dunia untuk mendorong. Selain kepemimpinan, harus ada komitmen pada proses jangka panjang, disiplin pada program. Garis pembangunan seharusnya tidak patah, harus ada kontinuitas.