FKP dengan tuan rumah Kementerian PPN/BAPPENAS dengan narasumber Anang Budi Gunawan (BAPPENAS) dan Agung Mahesa Himawan Dorodjatoen (BAPPENAS). Kamis, 21 Oktober 2021.

KEY POINTS:

  1. Kesenjangan antar wilayah merupakan isu penting dalam pembangunan daerah dan tantangan utama bagi para pemangku kebijakan. Dari 34 provinsi yang diperhitungan, diidentifikasi adanya 4 klub konvergensi (club convergence). Provinsi yang berada dalam satu klub akan cenderung memiliki PDB per kapita yang konvergen dalam jangka panjang. Selain itu, kelompok konvergensi yang lebih kaya ditemukan tumbuh lebih cepat daripada yang lebih miskin, sehingga kesenjangan antar daerah dalam kondisi sekarang masih akan berlanjut dan semakin melebar apabila tidak ada upaya perbaikan. 
  2. Ketimpangan regional juga dapat dievaluasi dengan melihat dampak kebijakan rencana tata ruang wilayah. Ada 3 kebijakan dalam tata ruang wilayah yang dievaluasi antara lain urban hierarchy, kawasan strategis nasional (KSN), dan Kawasan Andalan. Kebijakan urban hierarchy berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan dua kebijakan lainnya yaitu KSN dan Kawasan Andalan dianggap tidak sukses. Implementasi KSN belum berhasil karena kurangnya platform untuk koordinasi antar sektor serta tidak adanya pedoman untuk pemerintah daerah. Kebijakan tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengalokasikan dana sehingga terjadi kesulitan pembiayaan.

 

SUMMARY

  1. Kesenjangan antar wilayah merupakan isu penting dalam pembangunan daerah dan tantangan utama bagi para pemangku kebijakan. Diskusi tentang konvergensi pendapatan per kapita daerah di Indonesia terus berlanjut dengan penekanan pada apakah pendapatan per kapita daerah cenderung konvergen atau divergen dalam jangka panjang. Anang Budi Gunawan dari Kementerian PPN/Bappenas menjelaskan studinya yang mengevaluasi konvergensi regional di tingkat provinsi selama periode deindustrialisasi di Indonesia tahun 2001–2017. 
  2. Menurut studi terdahulu, daerah yang dapat melakukan transformasi terhadap struktur ekonominya menjadi lebih modern (termasuk sektor manufakturnya) akan tumbuh lebih cepat dan konvergen dengan ekonomi yang lebih maju. Oleh karena itu, pengembangan industri manufaktur didorong sebagai kebijakan untuk mendorong konvergensi ekonomi regional. Namun, data menunjukkan bahwa peran sektor manufaktur sebagai mesin pertumbuhan daerah di Indonesia cenderung menurun, sedangkan sektor jasa semakin meningkat, mengindikasikan telah terjadinya deindustrialisasi.
  3. Untuk mengevaluasi kecenderungan konvergensi yang terjadi di daerah, studi ini mencoba menganalisis pertumbuhan ekonomi provinsi di Indonesia dengan pendekatan club convergence. Dari 34 provinsi yang diperhitungan dalam studi ini, diidentifikasi adanya 4 klub konvergensi (club convergence) di antara provinsi-provinsi tersebut. Provinsi yang berada dalam satu klub akan cenderung memiliki PDB per kapita yang konvergen dalam jangka panjang. Dari masing-masing kelompok konvergensi tersebut, terdapat indikasi adanya dependensi spasial antar wilayah. Klub konvergensi tersebut antara lain Club 1 (Kalimantan Timur dan DKI Jakarta), Club 2 (Sulawesi Tengah, Jawa Timur, Jambi, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Papua Barat), Club 3 (Bangka Belitung, Bengkulu, Bali, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, Gorontalo, Lampung, Sumatera Utara, Papua, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Sulawesi Barat, Yogyakarta), dan Club 4 (Aceh, West Nusa Tenggara Barat, Maluku, North Maluku, East Nusa Tenggara).
  4. Studi ini menunjukkan bahwa pendapatan per kapita pada tahap awal dan tingkat investasi adalah faktor paling penting yang mempengaruhi club convergence, hal ini mengindikasikan bahwa ekonomi daerah cenderung persisten berada di level yang sama dengan level awal. Selain itu, kelompok konvergensi yang lebih kaya ditemukan tumbuh lebih cepat daripada yang lebih miskin, sehingga kesenjangan antar daerah dalam kondisi sekarang masih akan berlanjut dan semakin melebar apabila tidak ada upaya perbaikan. 
  5. Meskipun perkembangan ekonomi mengindikasikan tanda-tanda deindustrialisasi, studi ini menunjukkan sektor manufaktur masih memiliki peran penting dalam pertumbuhan ekonomi dimana industrialisasi masih berperan signifikan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi dan akan meningkatkan kemungkinan provinsi untuk berpindah ke klub konvergensi dengan tingkat lebih tinggi. Klub konvergensi dapat membantu mengidentifikasi ekonomi daerah yang menghadapi tantangan serupa. Ke depan, penting untuk melakukan koordinasi dan kebijakan kerjasama yang lebih baik baik di dalam maupun di antara klub konvergensi tersebut. Pemerintah daerah harus fokus pada bagaimana membuat daerahnya masing-masing lebih menarik untuk investasi untuk mendorong pertumbuhan. Menciptakan lapangan kerja di sektor manufaktur dan mempersiapkan pekerja terampil untuk industri harus diprioritaskan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja.
  6. Berikutnya, Agung Dorodjatoen dari Kementerian PPN/Bappenas membahas studi tentang ketimpangan wilayah dan pembangunan yang tidak merata di Indonesia. Studi ini mencoba memahami ketimpangan regional dengan melihat dampak kebijakan rencana tata ruang wilayah. Meskipun telah berlaku selama lebih dari dua puluh tahun, hanya ada sedikit penelitian yang mencoba mengevaluasi dampak kebijakan ini terhadap geografi pembangunan yang tidak merata. Ada 3 kebijakan dalam tata ruang wilayah yang dievaluasi dalam studi ini antara lain urban hierarchy, kawasan strategis nasional (KSN), dan Kawasan Andalan. 
    1. Kebijakan urban hierarchy membagi tata ruang wilayah berdasarkan pusat kegiatan nasional, regional, dan lokal (PKN, PKW, dan PKL). Hierarki ini menentukan jenis infrastruktur yang dibangun antar wilayah tersebut. Kategorisasi wilayah ke dalam hierarki tersebut ditentukan oleh beberapa kriteria antara lain volume ekspor-impor, share PDB, dan keterkaitan antar kota. 
    2. Kawasan Andalan (regional cluster) merupakan kebijakan yang lebih lepas dan diserahkan ke pemerintah daerah untuk dikembangkan. Ada dua jenis Kawasan Andalan, klaster maju dan klaster regional yang prospektif. Kriteria yang digunakan untuk menentukan kawasan ini antara lain jumlah wilayah urban dalam kawasan, share PDB, share populasi, ketersediaan infrastruktur, dan sektor-sektor yang potensial.
    3. Kawasan Strategis Nasional (KSN) bertujuan mengamankan kepentingan pemerintah nasional atas daerah tertentu. Kriteria yang digunakan untuk menentukan KSN adalah pertumbuhan PDB wilayah tersebut berada di atas tingkat nasional, memiliki kekuatan sektoral, memiliki tingkat ekspor di atas tingkat nasional, memiliki infrastruktur yang mapan, dan memiliki dasar teknologi tinggi dari kegiatan ekonomi. 
  7. Hasil studi ini menunjukkan bahwa kebijakan urban hierarchy berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan dua kebijakan lainnya yaitu KSN dan Kawasan Andalan dianggap tidak sukses. Implementasi KSN belum berhasil karena kurangnya platform untuk koordinasi antar sektor serta tidak adanya pedoman untuk pemerintah daerah. Kebijakan tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengalokasikan dana sehingga terjadi kesulitan pembiayaan. Implementasi Kawasan Andalan juga belum berhasil karena pemerintah daerah harus mengandalkan kemampuan fiskalnya sendiri.
  8. Ke depan, dukungan sektoral dalam pembangunan daerah perlu ditekankan di bawah kebijakan tata ruang wilayah sebagai payung kebijakannya. Rancangan kebijakan daerah yang lebih baik dapat memungkinkan kelanjutan dari “positive lock-in” atau trayektori positif di daerah-daerah yang relatif kaya dan membebaskan daerah dari “negative lock-in” atau trayektori negatif di wilayah yang lebih miskin.
Download slides (Agung Dorodjatoen)
Download slides (Anang Budi Gunawan)