FKP dengan tuan rumah Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dengan pembicara Thomas Power (University of Sydney), Damar Juniarto (SAFEnet), Eryanto Nugroho (PSHK dan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera), dan Alviani Sabillah (Paramedis Jalanan). Kamis, 17 Desember 2020.

 

KEY POINTS:

  1. Demokrasi di Indonesia menunjukkan tanda-tanda proses kemunduran. Aspek ruang sipil menjadi salah satu indikator yang mengalami penurunan dalam demokrasi. Dengan Perppu Ormas tahun 2017, pemerintah dapat membubarkan organisasi masyarakat sipil secara sepihak tanpa proses pengadilan. Selain itu, Ranah digital sebagai bagian dari demokrasi di saat yang sama menjadi sarana untuk melakukan represi.
  2. Di samping menyempitnya ruang publik, institusi akuntabilitas pemerintah (checks and balances) telah dilemahkan secara sistematis, sehingga kurang efektif dalam membatasi kesewenang-wenangan pimpinan politik (eksekutif pusat). Ini merupakan indikator utama proses “executive aggrandisement” yaitu salah satu bentuk kemunduran demokrasi menuju otoritarianisme.

SUMMARY

  1. Demokrasi di Indonesia menunjukkan tanda-tanda proses kemunduran. Dalam Indonesia: The Dangers of Democratic Regression yang terbit tahun 2018, Edward Aspinall dan Eve Warburton menulis bahwa kerapuhan demokrasi di Indonesia mulai tumbuh. Larry Diamond dari Stanford University juga menegaskan bahwa Indonesia saat ini masuk dalam kategori “negara kurang liberal” bersama Meksiko, Kolombia, dan Thailand (sebelum kudeta 2014). Berdasarkan  laporan The Economist Intelligence Unit tahun 2019, skor demokrasi Indonesia turun dalam tiga tahun terakhir. Aspek ruang partisipasi masyarakat sipil menjadi salah satu indikator yang mengalami penurunan. Laporan dari  IDEA Global State of Democracy Indices tahun 2019 menegaskan bahwa Indonesia mengalami penurunan ruang sipil, khususnya dalam hal demokrasi. 
  2. Shrinking civic space (ruang partisipasi masyarakat sipil yang semakin terbatas) telah menjadi tren global karena sejak  tahun 2013 ada 82 negara yg menerapkan lebih dari 180 instrumen hukum yang membatasi civil society. Di Indonesia, salah satu instrumen tersebut adalah  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang. Peraturan ini memberikan kewenangan pemerintah untuk membubarkan organisasi masyarakat sipil secara sepihak tanpa proses pengadilan. Perppu ini masih terus berlaku dan dapat sewaktu-waktu digunakan sebagai dasar hukum untuk membubarkan ormas.
  3. Sementara itu dalam ruang sipil digital, represi demokrasi digital juga terjadi dengan adanya mobilisasi opini, penggunaan hukum, dan serangan siber.
    • Salah satu bentuk represi ruang sipil digital adalah disinformasi dan mobilisasi opini di media sosial. Sebagai contoh, pasca disahkannya UU Cipta Kerja muncul tagar-tagar baru yang dimulai untuk melawan sentimen negatif di media sosial yang didorong oleh akun bot atau artis dan influencer
    • Represi juga dilakukan dengan penggunaan hukum untuk menindak mereka yang kritis. Jumlah kasus pemidanaan dengan dasar UU ITE meningkat signifikan di tahun 2020. Penolakan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah seperti UU Cipta Kerja diindikasikan menjadi salah satu penyumbang jumlah kasus tersebut.
    • Tahun 2020 juga mencatat adanya serangan siber yang bersifat terarah dan sistematis terhadap masyarakat sipil. Serangan ini dilakukan dengan menyusup dan menginfiltrasi perangkat jaringan milik individu, kelompok, atau organisasi. Sasarannya adalah aktivis mahasiswa, aktivis lingkungan, akademisi, pejuang masyarakat adat, dll. Dalam konteks saat ini, sasaran serangan siber mengarah pada mereka yang vokal dalam penolakan UU Cipta Kerja. Menurut catatan SAFEnet, pada bulan Oktober terdapat 31 serangan digital, terbanyak di tahun 2020. Dengan adanya sensor yang diketatkan, cyber-patrol dan spyware, dan praktik pemutusan jaringan internet dari pusat, masyarakat perlu berhati-hati dengan indikasi adanya otoritarianisme digital. 
  4. Ada 4 institusi yang penting dalam akuntabilitas pemerintah: pemilu dan oposisi resmi, lembaga penegakan hukum yang independen, media yang bebas dan berkualitas, serta oposisi tidak resmi atau oposisi melalui aksi unjuk rasa. Namun ada indikasi bahwa fungsi pengawasan dan kontrol (checks and balances) telah dilemahkan secara sistematis, sehingga kurang efektif dalam membatasi kesewenang-wenangan pimpinan politik (eksekutif pusat). Dalam ilmu politik, proses ini sering disebut sebagai executive aggrandisementyaitu salah satu bentuk kemunduran demokrasi atau transisi dari demokrasi menjadi otoritarianisme dengan proses dimana eksekutif semakin berkuasa dan tidak dibatasi dalam tindakannya. Secara global, executive aggrandisement adalah bentuk kemunduran demokrasi yang paling sering teramati dalam 30 tahun terakhir di berbagai negara sejak berakhirnya perang dingin dan tak lagi adanya kudeta. Beberapa indikator ke arah tersebut, menurut Thomas Power, antara lain:
    • Sistem kepartaian tidak representatif dan dikuasai kepentingan elit. Terdapat kartelisasi partai yang mengutamakan jatah kabinet daripada menjaga sikap politik sesuai konstituen. Syarat pencalonan presiden semakin eksklusif. Koalisi oposisi dilemahkan melalui intervensi di tubuh partai seperti di PPP dan Golkar.
    • Dari segi penegakan hukum, politisasi aparat penegak hukum semakin terlihat dalam lima tahun terakhir, terutama di kepolisian dan kejaksaan. Jumlah kepala daerah yg ditangkap di era Jokowi menurun, dan jumlah anggota PDI-P (partai presiden) yang jadi tersangka sedikit. Belum lagi adanya revisi UU MK dan UU KPK yang kian melemahkan independensi penegak hukum.
    • Dari segi kebebasan media, kepemilikan media semakin didominasi segelintir orang yang terlibat aktif dalam pemerintahan. Media yang mengkritisi pemerintah terancam dilaporkan/dipolisikan.
    • Menjelang pemilu 2019 pemerintah mulai membatasi dan membubarkan kegiatan kelompok oposisi, tindakan tersebut disebut sebagai upaya utk melawan radikalisme. Cara yang sama lalu kembali dilakukan pada aksi damai protes RUU KPK, KUHP, dan Omnibus Law yang dituduh anarkis, radikal, dsb.
Download slides (Eryanto Nugroho)
Download slides (Damar Juniarto)
Download slides (Alviani)