FKP dengan tuan rumah Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dengan narasumber Profesor. Basuki Rekso Wibowo (Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional dan Tim Penyusun RUU Hukum Acara Perdata), Sonyendah Retnaningsih (Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia), Ahmad Maulana (Partner di firma hukum Assegaf Hamzah & Partners), dan Aria Suyudi (Pengajar STH Indonesia Jentera dan Tim Asistensi Pembaruan Peradilan Mahkamah Agung). Rabu, 15 Desember 2021.

KEY POINTS:

  1. Upaya reformasi Hukum Acara Perdata perlu didukung dalam rangka menghasilkan produk hukum yang mampu mengakomodasi perkembangan situasi. RUU Hukum Acara Perdata diniatkan sebagai produk hukum “made in Indonesia” untuk menggantikan legislasi jaman kolonial Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan Rechtreglement voor de Buitengewesten (RGb)  yang pada dasarnya hanya bersifat sementara. Namun demikian, tidak mungkin mengganti semua peraturan yang lama dengan yang baru, apalagi ini merupakan hukum formil yang mengatur prosedur dan proses peradilan yang telah dipraktekkan selama puluhan tahun.
  2. Perjalanan seorang atau suatu pihak untuk mencapai keadilan dalam sistem Hukum Acara Perdata di Indonesia dinilai sangat panjang. Bahkan ketika putusan sudah keluar, pelaksanaan eksekusi sita juga terhambat karena pemohon diwajibkan menyajikan info lengkap terkait aset yang akan disita. Untuk memenuhi hal tersebut, pemohon kerap kesulitan karena tidak tersedia data aset yang dapat diakses oleh publik. Negara perlu lebih proaktif memainkan peran dalam menjamin bahwa hak warga negara yang diperoleh dari putusan pengadilan pada perkara perdata dapat secara efektif diperoleh.

 

SUMMARY

  1. Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Haper) sudah masuk dalam Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI periode 2019-2024, masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2021 (meski belum dibahas pada tahun berjalan), dan sudah diusulkan kembali masuk ke Prolegnas prioritas 2022. Upaya reformasi ini tentu perlu didukung dalam rangka menghasilkan produk hukum yang mampu mengakomodasi perkembangan situasi. Salah satu aspek penting dalam reformasi Hukum Acara Perdata adalah mengenai Eksekusi Perdata, di mana hal ini merupakan isu penting yang harus direformasi agar putusan perdata dapat dilaksanakan secara optimal. 
  2. Profesor Basuki Rekso Wibowo, Tim Penyusun RUU Hukum Acara Perdata, menjelaskan bahwa RUU Haper merupakan hasil kerja panjang selama puluhan tahun dan hasil sumbangan pemikiran dari banyak pemangku kepentingan. RUU Hukum Acara Perdata diniatkan sebagai produk hukum “made in Indonesia” untuk menggantikan Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan Rechtreglement voor de Buitengewesten (RGb) yang pada dasarnya hanya bersifat sementara. Namun demikian, beliau menjelaskan bahwa tidak mungkin mengganti semua peraturan yang lama dengan yang baru, apalagi ini merupakan hukum formil yang mengatur prosedur dan proses peradilan yang telah dipraktekkan selama puluhan tahun. Yang bisa dilakukan adalah melengkapi yang kurang dan memperbaiki yang sudah tidak cocok lagi.
  3. Terkait reformasi eksekusi perdata, Profesor Basuki menilai bahwa pelaksanaan putusan merupakan tahapan akhir yang paling sulit dan kompleks dari keseluruhan jalannya proses acara di pengadilan. Tak sedikit tekanan yang bersifat teknis maupun non teknis datang dari berbagai pihak, sehingga membuat Ketua Pengadilan Negeri selaku otoritas yang berwenang berada pada situasi yang dilematis. 
  4. Pada saat proses pembahasan RUU, muncul wacana untuk mengeluarkan kewenangan eksekusi putusan dari kewenangan Ketua Pengadilan, dan mengalihkan kewenangan tersebut kepada suatu lembaga baru. Wacana tersebut menimbulkan perdebatan dan penolakan, terutama dari kalangan peradilan, karena dianggap sebagai reduksi terhadap kewenangan Ketua Pengadilan. Terlebih, eksekusi merupakan rangkaian dari proses peradilan dan dimaknai sebagai mahkota pengadilan. Akhirnya, perdebatan itu usai setelah wacana tersebut tidak dilanjutkan dan tidak dinormakan ke dalam RUU Haper.
  5. Sonyendah Retnaningsih, Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menjelaskan tentang pengaturan tentang eksekusi dalam HIR dan RUU Hukum Acara Perdata. Saat ini sumber hukum eksekusi adalah Pasal 195-224 HIR atau Stb. 1941 No. 44 yang memuat empat asas eksekusi. Pertama, putusan hanya dapat dijalankan pada putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap, kecuali pelaksanaan putusan lebih dahulu, pelaksanaan putusan provisi, akta perdamaian, dan eksekusi terhadap Grosse Akta. Kedua, putusan tidak dijalankan secara sukarela; ketiga, putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnator atau menghukum. Terakhir, eksekusi hanya dapat dilaksanakan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa dan memutus perkara tersebut.
  6. Ahmad Maulana, Partner di firma hukum Assegaf Hamzah & Partners, menjelaskan praktik pelaksanaan putusan perdata serta hambatan dan tantangannya. Perjalanan seorang atau suatu pihak untuk mencapai keadilan dalam sistem Hukum Acara Perdata di Indonesia dinilai sangat panjang. Bahkan ketika putusan sudah keluar, pelaksanaan eksekusi sita juga terhambat karena pemohon diwajibkan menyajikan info lengkap terkait aset yang akan disita. Untuk memenuhi hal tersebut, pemohon kerap kesulitan karena tidak tersedia data aset yang dapat diakses oleh publik, instansi pemegang info terkait aset enggan memberikan data, dan ketiadaan prosedur akses informasi yang jelas. Masalah lain yang kerap muncul saat pelaksanaan sita adalah problem keamanan seperti tanah yang akan disita dikuasai preman. Sementara, petugas juru sita sebagai pelaksana eksekusi kualifikasinya dinilai kurang mumpuni. 
  7. Aria Suyudi, Pengajar STH Indonesia Jentera, menjelaskan tentang masalah pelaksanaan putusan pengadilan dimana mekanisme upaya paksa yang saat ini ada kurang efektif. Selain itu, otoritas eksekusi terdesentralisasi ke unit kerja pengadilan terkecil. Masalah lainnya antara lain tidak adanya data terkonsolidasi tentang status pelaksanaan eksekusi, sehingga minim pengawasan tentang kemajuan proses eksekusi. Masih ada perspektif bahwa urusan perdata adalah urusan pribadi, sehingga negara tidak perlu terlalu banyak turut campur.
  8. Negara perlu lebih proaktif memainkan peran dalam menjamin bahwa hak warga negara yang diperoleh dari putusan pengadilan pada perkara perdata dapat secara efektif diperoleh, mencari praktik terbaik dalam pelaksanaan penegakan putusan pengadilan pada perkara perdata pada negara-negara lain, dan perlu kajian lebih mendalam tentang opsi peningkatan efektivitas rezim eksekusi di Indonesia untuk membuat peta jalan reformasi rezim eksekusi hukum perdata indonesia.
Download slides