FKP dengan tuan rumah Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dengan narasumber Tri Nuke Pudjiastuti (Peneliti Utama Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN), Abi Marutama (Analis Perlindungan HAM Kementerian Hukum dan HAM), Slamet Thohari (Sekretaris Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya), dan Estu Dyah Arifianti (Peneliti PSHK). Senin, 13 Desember 2021.

KEY POINTS:

  1. Pemerintah telah berupaya mengarusutamakan perspektif disabilitas di berbagai sisi, termasuk dari sisi legislasi. Sayangnya, ratifikasi The Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) melalui UU No. 19 Tahun 2011 dan pengesahan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas tidak serta merta mengubah perspektif yang ada, termasuk dalam riset. Pelibatan penyandang disabilitas dalam riset tergolong minim. Dampaknya, masih banyak produk regulasi yang dianggap tidak mampu menjawab kebutuhan yang beragam, bahkan cenderung diskriminatif terhadap penyandang disabilitas.
  2. Eksklusi penyandang disabilitas dalam pelaksanaan riset tidak terlepas dari eksklusi di institusi pendidikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan terdapat sekitar 10,8 juta penyandang disabilitas dengan usia kerja, namun hanya sekitar 5% yang memiliki gelar sarjana. Apabila representasi penyandang disabilitas di perguruan tinggi sangat minim, maka yang mendorong riset berkaitan dengan disabilitas juga akan minim. Untuk mendorong pengarusutamaan disabilitas dalam riset secara lebih lanjut, perlu kolaborasi lintas sektor antara lembaga riset pemerintah atau nonpemerintah dengan komunitas dan melibatkan penyandang disabilitas dalam perencanaan program dan penganggaran.

 

SUMMARY

  1. Pemerintah telah berupaya mengarusutamakan perspektif disabilitas di berbagai sisi, termasuk dari sisi legislasi. Sayangnya, ratifikasi The Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) melalui UU No. 19 Tahun 2011 dan pengesahan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas tidak serta merta mengubah perspektif yang ada, termasuk dalam riset. Masih dominannya perspektif belas kasihan dalam melihat isu disabilitas menunda proses transisi ini. Selain itu, pelibatan penyandang disabilitas dalam riset juga tergolong minim. Dampaknya, masih banyak produk regulasi yang dianggap tidak mampu menjawab kebutuhan yang beragam, bahkan cenderung diskriminatif terhadap penyandang disabilitas.
  2. Tri Nuke Pudjiastuti, Peneliti Utama Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menjelaskan bahwa terdapat beberapa tantangan dalam pengembangan riset-riset bertema disabilitas. Pertama, isu disabilitas belum menjadi isu riset, sebagaimana isu-isu perekonomian, bencana, ataupun gender. Kedua, isu disabilitas belum menjadi salah satu indikator dan perspektif dalam riset. Ketiga, pendanaan riset nasional juga belum berperspektif disabilitas, dan terakhir, kelompok riset dalam lembaga kecenderungannya berjuang sendiri-sendiri sesuai dengan target lembaga atau universitas. 
  3. Beberapa langkah awal dapat dilakukan untuk mengembangkan riset berperspektif disabilitas antara lain adalah dengan menjadikan isu disabilitas sebagai salah satu fokus dan prioritas. Kedua, perlu dibangun komunikasi dan cara pandang yang sama. Ketiga dengan mengumpulkan, mengelompokkan, mendokumentasikan, dan membangun pusat riset. Keempat adalah dengan mendesain sinergi dan kolaborasi rencana kerja antar lembaga. Selain itu, isu disabilitas perlu dimasukkan ke dalam pendanaan-pendanaan seperti LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) yang bisa diakses semua pihak untuk pengarusutamaan disabilitas dalam riset.
  4. Peneliti PSHK, Estu Dyah Arifianti, menuturkan perlunya inklusi sebelum mendorong kebijakan riset berperspektif disabilitas. Eksklusi penyandang disabilitas dalam pelaksanaan riset tidak terlepas dari eksklusi di institusi pendidikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat sekitar 10,8 juta penyandang disabilitas dengan usia kerja, namun hanya sekitar 5% yang memiliki gelar sarjana. Hal tersebut menyebabkan minimnya pihak yang mendorong riset berperspektif disabilitas karena mayoritas riset dilakukan oleh mereka yang menempuh perguruan tinggi. Apabila representasi penyandang disabilitas di perguruan tinggi sangat minim, maka yang mendorong riset berkaitan dengan disabilitas juga akan minim. Hal ini berdampak pada tidak tergambarnya pendapat atau pengalaman penyandang disabilitas di dalam riset. Karena itu, pendidikan menjadi kunci untuk mendorong riset yang inklusif dan mengutamakan isu disabilitas. 
  5. Slamet Thohari, Sekretaris Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya,  menekankan pentingnya kebijakan afirmasi untuk mendorong jumlah penyandang disabilitas yang menempuh pendidikan tinggi. Kebijakan afirmasi tersebut telah dilakukan oleh Universitas Brawijaya lewat Seleksi Program Khusus Penyandang Disabilitas (SPKPD) pada 2012 lalu. Dengan program tersebut, Universitas Brawijaya memberikan kuota khusus dan beasiswa bagi penyandang disabilitas lewat tes seleksi yang disesuaikan dengan kebutuhan penyandang disabilitas.
  6. Abi Marutama, Analis Perlindungan HAM Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), menilai komitmen Direktorat Jenderal HAM Kemenkumham mendorong pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas diwujudkan dengan menyediakan anggaran dan kebebasan bagi peneliti untuk melakukan riset bertema disabilitas. Terdapat beberapa tantangan dalam melakukan riset di lembaga pemerintah yaitu minimnya dana riset yang disediakan, terbatasnya kemampuan sumber daya manusia untuk melakukan riset, dan terbatasnya waktu yang disediakan untuk riset yakni hanya enam bulan. Selain itu, minimnya adopsi hasil riset pada kebijakan juga masih menjadi tantangan hingga saat ini. Hal tersebut terjadi karena minimnya pemahaman pemangku kebijakan atas isu disabilitas.
  7. Untuk mendorong pengarusutamaan disabilitas dalam riset secara lebih lanjut, perlu kolaborasi lintas sektor antara lembaga riset pemerintah atau nonpemerintah dengan komunitas dan melibatkan penyandang disabilitas dalam perencanaan program dan penganggaran. Diperlukan juga pemanfaatan teknologi, penyediaan sarana dan prasarana penunjang, dan jaminan pelibatan penyandang disabilitas dalam peraturan teknis. Terakhir, monitoring dan evaluasi diperlukan untuk melihat efektivitas pelaksanaan kolaborasi lintas sektor tersebut.
Download slides