FKP dengan Article 33 dengan pembicara Mulyana (Article 33), Eva Rahmi Kasim (Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas, Kementerian Sosial RI), dan Pater Avent Saur (Kelompok Kasih Insanis). Kamis, 10 September 2020.

 

KEYPOINTS:

  1. Akses penyandang disabilitas terhadap layanan publik di Indonesia sangat kurang. Sekitar 31% penyandang disabilitas masih belum memiliki jaminan kesehatan. sedangkan mereka yang memiliki jaminan kesehatan tidak dapat memanfaatkan layanan yang ada dan memilih melakukan pengobatan mandiri. Program pro penyandang disabilitas masih belum menjadi prioritas dan di berbagai tempat di Indonesia hampir tidak tersedia fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai bagi penyandang disabilitas, termasuk disabilitas mental. 
  2. Pemerintah melalui Kementerian Sosial (Kemensos) memiliki beberapa platform layanan bagi penyandang disabilitas dan balai-balai kemensos diharapkan menjadi sentra layanan sosial yang mencakup informasi, edukasi, data, dan rujukan penyandang disabilitas. Namun balai yang ada jumlahnya sangat sedikit dan layanannya masih belum dirasakan Sebagian masyarakat. Sementara itu, peran pemerintah daerah masih minim karena rencana dari pusat tidak terealisasikan di daerah dan informasi tidak terjembatani. Secara umum regulasi tentang disabilitas dinilai sudah cukup lengkap, yang masih kurang adalah implementasi dari kebijakan tersebut.

 

SUMMARY

  1. Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia cukup tinggi. Menurut survei sosial ekonomi nasional (Susenas) bulan maret 2019, jumlah penyandang disabilitas hamper 10% dari total penduduk, dengan proporsi paling tinggi pada penyandang disabilitas kesulitan dalam penglihatan, kesulitan dalam mendengar, dan kesulitan dalam berjalan. Secara demografi, 75% penyandang disabilitas ada pada kelompok umur 45 tahun ke atas dan berjenis kelamin perempuan. Sekitar 13% dari total penyandang disabilitas berada di bawah garis kemiskinan, dan sebagian besar berada pada kelompok pendapatan 40% terbawah dan berpendidikan rendah
  2. Akses penyandang disabilitas terhadap layanan publik di Indonesia masih menjadi masalah. Sekitar 31% penyandang disabilitas masih belum memiliki jaminan kesehatan, sedangkan mereka yang memiliki jaminan kesehatan belum memanfaatkan layanan yang ada di antaranya akibat rendahnya literasi kesehatan yang membuat mereka memilih untuk melakukan pengobatan secara mandiri. Masalah lain yang juga masih ada adalah penolakan layanan jaminan kesehatan terhadap penyandang disabilitas. 
  3. Peneliti dari Article 33 melakukan studi untuk meninjau lebih lanjut masalah pelayanan publik penyandang disabilitas. Studi dilakukan di dua kabupaten yang memiliki jumlah penyandang disabilitas yang melebihi rata-rata nasional, yaitu Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, dan Kabupaten Klaten di Jawa Tengah. Di dua kabupaten tersebut proses pendataan penyandang disabilitas masih belum berjalan secara terintegrasi dan cenderung sektoral, program pro penyandang disabilitas masih belum menjadi prioritas. Kebijakan pemberian layanan kesehatan bagi penyandang disabilitas masih berfokus kepada pemenuhan pelayanan minimum yakni layanan kesehatan bagi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Perencanaan dan implementasi program bagi penyandang disabilitas masih lemah akibat rendahnya pemahaman akan substansi regulasi yang dibentuk sebab buruknya pendataan dan struktur organisasi sering mengalami perubahan. 
  4. Meskipun layanan bagi ODGJ merupakan layanan minimum yang harus disediakan pemerintah daerah, kondisi layanan disabilitas mental di beberapa daerah masih memprihatinkan, salah satunya keadaan disabilitas mental di Nusa Tenggara Timur (NTT). Diskriminasi dan stigma sosial masih marak, di mana masih banyak terdapat pemasungan terhadap penyandang disabilitas mental. Pemasungan dilakukan dengan berbagai cara yang tidak manusiawi. Selain itu, stigma sosial masih marak dimana penyandang disabilitas mental dianggap kekurangan iman, dikutuk tuhan, dimasuki roh kiriman orang, dan melakukan kesalahan adat. Layanan kesehatan yang menyediakan Poli Jiwa hanya ada dua di NTT. Sejumlah 20 Rumah Sakit Umum Daerah tidak memiliki layanan jiwa, dan tidak semua puskesmas memiliki layanan untuk kesehatan jiwa. Tidak ada fasilitas rehabilitasi atau rumah singgah yang disediakan pemerintah, hanya ada dua panti swasta (di Maumere dan Ruteng) yang menyediakan layanan untuk penyandang disabilitas mental. 
  5. Kebijakan teknis program perlindungan dan rehabilitasi sosial oleh Kementerian Sosial (Kemensos) bagi penyandang disabilitas diantaranya perlindungan hak, perluasan jangkauan rehabilitasi, dan peningkatan peran pemerintah daerah, masyarakat, dan swasta. Kemensos memiliki beberapa platform layanan penyandang disabilitas, di antaranya adalah ATENSI (asistensi rehabilitasi sosial) yang terintegrasi dengan berbagai program kesejahteraan sosial lainnya (Program Keluarga Harapan, Kredit Usaha Rakyat, dll) yang bertujuan memperkuat kinerja balai rehabilitasi sosial yang berbasis keluarga, komunitas, dan residensial. Dalam memberikan layanan ini, balai-balai kemensos menjadi sentra layanan sosial, namun demikian hanya ada sedikit balai di seluruh Indonesia. Sebagai contoh, hanya ada satu balai di Pulau Kalimantan (lihat peta di bawah). Untuk mengatasi hal ini, Peraturan pemerintah nomor 70 tahun 2019 mengamanatkan dibentuknya Rencana Induk Penyandang Disabilitas (RIPD) yang tujuannya adalah untuk mendorong layanan yang ada di daerah. 
  6. Di tengah absennya pemerintah dalam memberikan pelayanan Kesehatan terhadap penyandang disabilitas, Sebagian kelompok masyarakat sipil melakukan pelayanan. Sebagai contoh, kelompok kasih INSANIS (KKI) adalah kelompok relawan yang melakukan advokasi, edukasi, dan pemberdayaan demi hak-hak penyandang disabilitas. Berdiri sejak 2014, KKI  telah melakukan bebas pasung pada sekitar 200 orang di NTT. Masalah yang menjadi penghambat adalah otonomi daerah yang membuat rencana dari pusat tidak terealisasikan di daerah. Pemerintah daerah di NTT sebagai contoh belum menindaklanjuti kebutuhan layanan disabilitas mental dan kewenangan dalam penyediaan layanan masih simpang siur, meskipun sudah jelas diamanatkan dalam undang-undang. Tidak terjembataninya informasi antara pusat dan daerah dinilai menjadi masalah utama keterbatasan layanan di daerah terpencil. Balai milik Kemensos yang ada di daerah belum banyak berperan. Secara umum regulasi tentang disabilitas dinilai sudah cukup lengkap, yang masih kurang adalah implementasi dari kebijakan tersebut.
Download slides (Pater Avent Saur)
Download slides (Eva Rahmi Kasim)
Download slides (Mulyana, Yusuf, Indira)