FKP dengan tuan rumah Program INOVASI dengan narasumber Dirga Ardiansa (Cakra Wikara Indonesia), Cici T Wanita (INSPIRASI Foundation), Dr Praptono (Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi), dan Dr Muhammad Zain (Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama). Jumat, 10 Maret 2023.

 

KEY POINTS:

  1. Kepemimpinan perempuan di sekolah masih dihadapkan pada berbagai kendala, baik dari segi regulasi maupun kultural. Hasil studi menunjukkan beberapa faktor yang mempengaruhi kesempatan perempuan menjadi pemimpin di sekolah, antara lain norma gender yang membatasi kesempatan bagi perempuan, kurangnya dukungan dan legitimasi atas kepemimpinan perempuan, dan tanggung jawab domestik yang masih secara eksklusif dilekatkan pada perempuan.  kepala sekolah perempuan berada dalam situasi harus bernegosiasi atas identitas gendernya untuk mendapatkan dukungan dan legitimasi atas kepemimpinannya.
  2. Kepemimpinan perempuan dalam pendidikan sudah menjadi perhatian pemerintah dan ada upaya untuk memperbaiki iklim dan proses dalam birokrasi yang menghambat kesempatan bagi perempuan untuk menjadi pemimpin di sekolah. Hasil dari perbaikan tersebut dapat dilihat dari hasil seleksi program Guru Penggerak (GP) di mana representasi perempuan cukup tinggi dan menunjukkan tren positif. Ke depan, program GP dapat terus dipertajam untuk lebih afirmatif terhadap perempuan. Kemendikbudristek dan Kementerian Agama terus mendorong pemerintah daerah dan yayasan untuk mengangkat guru perempuan menjadi kepala sekolah dan kepala madrasah.

SUMMARY

  1. Kepemimpinan di sekolah merupakan faktor penting dalam perkembangan siswa. Namun, fakta global menunjukkan bahwa laki-laki masih mendominasi posisi kepemimpinan di sekolah. Dirga Ardiansa dari Cakra Wikara Indonesia (CWI), didukung program INOVASI, melakukan dua rangkaian riset dengan tema kepemimpinan perempuan sebagai kepala sekolah. Hal ini dilakukan sebagai respons terhadap minimnya jumlah guru perempuan yang menjadi kepala sekolah. Studi pertama berupaya untuk mengidentifikasi norma institusional maupun sosial yang menghambat kepemimpinan perempuan sebagai kepala sekolah pada Sekolah Dasar Negeri (SDN), Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) dan Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS). Sementara studi kedua berusaha melihat peran kepemimpinan dan manajemen sekolah dari kepala sekolah perempuan. Beberapa temuan antara lain sebagai berikut:
    • Dari segi regulasi, mekanisme penunjukan kepala sekolah kerap mengabaikan kesiapan serta pengalaman/kondisi khas perempuan. Di sekolah madrasah, seringkali tidak ada kepastian dalam proses pemilihan kepala sekolah, ditambah peluang perempuan untuk menjadi kepala sekolah sangat bergantung pada kebijakan pimpinan yayasan. Perkembangan karir guru perempuan menjadi kepala sekolah pun cenderung lebih panjang (19,8 tahun) dibandingkan dengan laki-laki (16,1 tahun). 
    • Dari segi kultural, tanggung jawab domestik masih kerap secara eksklusif dilekatkan pada perempuan. Perempuan mengalami kesulitan mengambil keputusan secara otonom untuk mencalonkan diri karena mempertimbangkan peran reproduktif dan rumah tangga. Perempuan dinilai lebih pantas mengelola administrasi ketimbang menjadi pemimpin di sekolah. Bahkan di madrasah, keberlakuan norma gender lebih memberatkan karena laki-laki tidak hanya lebih disukai, tetapi juga dianggap lebih pantas menjadi kepala madrasah.
    • Studi kedua menemukan bahwa karakteristik partisipatif dinilai lebih dominan ditemukan pada kepala sekolah perempuan. Karakteristik kepemimpinan partisipatif kepala sekolah perempuan merupakan respons terhadap tantangan dari pengikut (para guru) dan lingkungan (norma) agar lebih diterima. Artinya, kepala sekolah perempuan berada dalam situasi harus bernegosiasi atas identitas gendernya untuk mendapatkan dukungan dan legitimasi atas kepemimpinannya.
  2. Cici Tri Wanita dari INSPIRASI Foundation menjelaskan, studi INSPIRASI menemukan bahwa siswa di sekolah yang dipimpin kepala sekolah laki-laki memang mempunyai capaian literasi yang lebih tinggi. Namun, saat mendapatkan kesempatan berpartisipasi pada program pelatihan, kepala sekolah perempuan menunjukkan perubahan pengetahuan yang lebih tinggi. Hal ini mengindikasikan adanya potensi capaian literasi siswa yang lebih tinggi dalam kepemimpinan perempuan. Selain itu, orientasi kebijakan yang ada sudah memperhatikan iklim kesetaraan gender, hanya saja definisi capaian masih sulit untuk dipahami. Dibutuhkan adanya rekomendasi aksi yang lebih operasional dan lebih mudah ditindaklanjuti oleh kepala satuan pendidikan. Dukungan yang berbeda dibutuhkan untuk kepala sekolah perempuan dan laki-laki, kepala sekolah laki-laki lebih membutuhkan role model, pengakuan atas kinerjanya dan instruksi/instrumen yang praktis, sedangkan kepala sekolah perempuan lebih membutuhkan pendekatan personal, informasi yang rinci dan dukungan moral.
  3. Dr Praptono dari Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), menjelaskan bahwa kepemimpinan perempuan dalam pendidikan sudah menjadi perhatian pemerintah. Dalam seleksi program Guru Penggerak (GP), representasi perempuan cukup tinggi dan menunjukkan tren positif. Dari data GP yang menjadi kepala sekolah, terlihat dominasi GP perempuan. Namun, representasi perempuan menjadi kepala sekolah secara umum masih lebih rendah. Isu prasyarat menjadi kepala sekolah, seperti golongan dan sertifikasi pendidik serta pertimbangan politik pemerintah daerah, diakui masih menjadi hambatan bagi guru perempuan yang beraspirasi menjadi kepala sekolah. Ke depan, program Guru Penggerak dapat terus dipertajam dari proses seleksi dan pelaksanaan untuk lebih afirmatif terhadap perempuan. Sebagai langkah untuk mendorong jumlah GP yang menjadi kepala sekolah dan pengawas sekolah, Kemendikbudristek akan terus mendorong pemerintah daerah untuk memanfaatkan guru penggerak seoptimal mungkin dengan mengangkat mereka menjadi kepala sekolah. Kemendikbudristek juga mendorong dibentuknya jejaring antar guru penggerak dan kepala sekolah perempuan untuk mendorong agar GP perempuan lebih terdorong untuk menjadi kepala sekolah serta mendorong pertimbangan pemerintah daerah dalam memilih dan mengangkat kepala sekolah dan pengawas sekolah perempuan.
  4. Dr Muhammad Zain dari Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama, menambahkan dalam konteks sekolah madrasah, bahwa kebijakan pemimpin satuan pendidikan perempuan di madrasah masih menghadapi banyak tantangan, utamanya adalah bahwa sebagian besar madrasah di Indonesia adalah madrasah swasta yang dikelola yayasan, sehingga keputusan kepemimpinan berada pada ketua yayasan. Oleh karena itu perlu terus dilakukan mainstreaming dan sosialisasi terhadap yayasan-yayasan akan pentingnya keterlibatan guru perempuan dalam kepemimpinan di madrasah. Beberapa madrasah terbaik di Indonesia terbukti dipimpin kepala madrasah perempuan, antara lain madrasah Insan Cendekia di Gorontalo dan di Palu. Hambatan norma gender yang dihadapi perempuan juga diakui masih ada, sehingga pemerintah terus berupaya untuk memberikan ruang dan dukungan bagi guru perempuan untuk menjadi kepala madrasah. Beberapa upaya praktis antara lain menyediakan ruang laktasi di sekolah, serta mengadakan pelatihan di lokasi yang mudah dijangkau oleh perempuan (e.g. tidak di luar kota atau tempat yang sulit dijangkau transportasi umum).
Download slides (Dirga Ardiansa)
Download slides (Cici Wanita)